Oleh Aprinus Salam
Seorang
aktivis mahasiswa dengan gagah dan bangga bercerita kepada teman-temannya bahwa
ia baru saja selesai ikut demonstrasi. Demonstrasi itu ditujukan kepada
pemerintahan Susiolo Bambang Yudhoyono yang dinilai lamban, sejauh ini hanya
menjual janji, juga kritik terhadap kenaikan beberapa harga BBM, dan
sebagainya.
Seorang
temannya punya rencana lain. Teman itu merasa akan mendapat dukungan dari
seorang mahasiswa yang tegar terhadap rencananya akan melakukan demontrasi di
fakultasnya. Demonstrsi itu mengeritik kebijakan fakultas yang dianggapnya
tidak adil, memberlakukan mahasiswa secara rasis, dan sebagainya.
Sayang,
aktivis mahasiswa itu dengan tidak bersemangat mengatakan bahwa ia tidak bisa
mendukung demonstrasi di fakultas. Alasan mahasiswa aktivis itu adalah bahwa ia
sungkan, yang dikritik itu "terlalu kecil" baginya, dan sejumlah
alasan lain. Karena, selama ini ia terbiasa mengeritik dan demontrasi hal-hal
yang besar, yang melibatkan nasib rakyat Indonesia.
Dan
seperti diketahui, bahwa pada akhirnya demonstrasi di fakultas itu tidak
terlaksana. Sebetulnya, ada juga beberapa mahasiswa memberikan dukungan, tetapi
hanya secara lisan dan moral. Beberapa memberikan alasan bahwa jam rencana
demonstrasi itu berbenturan dengan jam kuliah, hari itu kebetulan ada acara
lain, dan yang paling banyak adalah merasa tidak enak, sungkan.
*
* *
Apa
arti dari cerita tersebut? Sebetulnya cuma sederhana, bahwa saat ini ada
kecenderungan bahwa banyak orang secara terbuka, kritis, dan berani melakukan
kritik kepada pemerintahan Indonesia (politik makro), dan mengalami kegagapan
melakukan keritik justru terhadap hal-hal yang secara langsung dihadapi
sehari-hari (politik mikro).
Memang, batas-batas
politik makro dan mikro ini cukup relatif. Karena bisa jadi masalah kenaikan
BBM atau sembako, secara langsung berhubngan dengan kehidupan sehari-hari. Akan
tetapi, yang dimaksud dengan palitik makro adalah yang berhubungan dengan
politik dan kebijakan nasional. Sementara itu, politik mikro jauh lebih kecil,
misalnya politik dalam ruang lingkup fakultas atau universitas, ruang lingkup
Rukun Tetangga atau kakalanlah kelurahan, ruang lingkup perusahaan, dan yang
setingkat dengan itu.
Betas-batas
itu pun pada setiap konteksnya bisa berbeda-beda. Akan tetapi, yang paling
menentukan adalah apakah politik tersebut lebih memiliki akses kemampuan yang
lebih tinggi dalam menyentuh prilaku politik seseorang (politik yang menyetuh
tubuh). Artinya, dalam cerita di atas, seseorang mengalami ketakutan ketika
diketahui bahwa aktivitas demonstrasinya secara langsung akan berdampak
terhadap dirinya. Apakah itu dalam pengertian fisik, tetapi lebih-lebih dalam
pengertian "nasib" seseorang tersebut.
Kita
tahu dan maklum bahwa di balik ketakutan mahasiwa demonstrasi di fakultasnya,
tersembunyi ketakutan bahwa jika nanti diketahui identitasnya, ia akan
memndapat pembalasan, berupa nilai buruk, atau katakanlah sangsi lainnya.
Artinya, demonstrasi belum dianggap sebagai mekanisme menyampaikan aspirasi
secara terbuka.
Masih
terdapat kesadaran lain bahwa menjadi pahlawan pada tataran politik mikro belum
tentu "merubah" nasib seseorang untuk mendapat akses politik makro.
Ia hanya tetap menjadi pahlawan-pahlawan kecil. Kalau toh perjuangan politik
mikro berhasil, dampaknya tidak segera dirasakan pada tataran yang lebih besar.
Berbeda
jika seseorang demonstrasi anti kenaikan BBM atau sembako, atau mengeritikan
kebijakan pemerintah SBY lainnya. Saat ini, pemerintah pusat, katakanlah
representasi negara, mengalami "kesulitan teknis, untuk secara langsung
menjahati para kritikus dan demonstran.
Di
samping itu, berhadapan dengan aparat belum tentu seperti berhadapan dengan
negara (politik makro). Sangat mungkin beberapa kejadian ketika aparat memukul
demonstran, kejadian terebut lebih kejadian politik mikro di lapangan, kejadian
yang bersifat personal. Tetapi, hampir dapat dipastikan bahwa saat ini
mengeritik dalam pengertian politik makro, walaupun tetap ada kemungkinan
mendapatkan sangsi, tetapi tidak lagi menakutkan.
Ada
sisi yang lebih menjanjikan, bahwa menjadi pahlawan dalam politik makro bisa
berimplikasi pada seseorang, apakah dalam bentuk publikasi, atau sangat mungkin
ketika kepentingan politik makro lainnya berkepentingan, dan saat ini berarti
itu adalah akses ekonomi. Kita tahu, banyak para demonstran politik makro pada
tahun 1980-an, saat ini merupakan bagian dari politik makro, dan itu artinya
juga akses ekonomi yang lebih besar.
* * *
Hal
lain yang ingin dikatakan adalah bahwa fenomena apresiasi terhadap politk makro
dan politik mikro ini jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,
ambillah contoh ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Dulu
politik makro memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol politik mikro.
Artinya, politik makro memiliki akses langsung terhadap politik, dan sebagai
implikasinya politik makro secara langsung memiliki kemampuan menyentuh diri
(tubuh) seseorang. Politik mikro pun dengan sewenang-wenang memiliki kemampuan
langsung menyentuh diri (tubuh) seorang bahkan atas nama politik makro.
Sebagai
konesekuensinya, dulu banyak orang mengalami ketakutan ketika harus berhadapan
dengan politik makro (negara). Memang, tetap saja banyak demonstran. Namun,
kondisinya sudah jauh berbeda. Waktu itu, jika tidak demonstrasi dan atau
bersikap kritis, baik dalam skala makro atau makro, nasibnya sama saja,
sama-sama buruk.
Dengan
demikian, aktivis demonstran dan kritikus waktu itu berhadapan dengan politik
makro dan mikro sekaligus. Batas-batasnya tidak jelas ketika politik mikro
selalu dalam kontrol politik makro. Atau paling tidak politik mikro bisa
mengatasnamakan politik makro. Dulu untuk melamar pekerjaan di instansi apapun
selalu dipersoalkan untuk memiliki loyalitas dengan politik makro.
* * *
Akan
tetapi, yang lebih penting yang ingin dikatakan adalah bahwa harus ada aturan
permainan dan sekaligus perlindungan yang cukup jelas ketika seseorang
berhadapan dengan politik makro ataupun mikro. Memang, saat ini politik makro
tidak sepenuhnya mampu mengontrol politik mikro. Akan tetapi, sangat mungkin
sejarah berulang ketika politik mikro kembali mengatasnamakan politik makro,
atau justru ketika politik mikro memiliki wewenang yang cukup besar dalam
"menentukan" nasib seseorang.
Aturan
yang perlu disepakati adalah, pertama, bahwa harus ada pengakuan bahwa
demontrasi dan bentuk-bentuk prilaku kritis lainnya adalah sebuah mekanisme
untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka. Memang, secara musyawarah pun bisa
dilakukan. Masalah, dalam musyawarah sering bentuk komunikasi menjadi tidak
seimbang, ada yang lebih berkuasa antara yang satu berhadapan dengan yang lain.
Kedua,
yang melakukan demonstrasi pun perlu mengontrol dirinya untuk tidak bertindak
berlebihan, tindakan yang sangat mungkin menjadi sangat tidak produktif,
misalnya jika ada tindakan yang mengarah pada sikap-sikap mau menang sendiri,
sikap-sikap yang mengarah pada bentuk-bentuk kekerasan.
Ketiga,
pihak pemegang kekuasaan politik mikro juga perlu memahami bahwa kekuasaan itu
bersifat sementara. Jangan sampai ketika ia tidak berkuasa lagi, ia juga kelak
akan mendapat pembalasan, sesuatu yang beimplikasi pada dirinya. Entah
bagaimana caranya. Kita tidak tahu. * * *
Siapa penggagas Istilah Politik Makro dan Politik Mikro?...
BalasHapus