Sabtu, 21 April 2012

POLITIK MAKRO, POLITIK MIKRO


Oleh Aprinus Salam
Seorang aktivis mahasiswa dengan gagah dan bangga bercerita kepada teman-temannya bahwa ia baru saja selesai ikut demonstrasi. Demonstrasi itu ditujukan kepada pemerintahan Susiolo Bambang Yudhoyono yang dinilai lamban, sejauh ini hanya menjual janji, juga kritik terhadap kenaikan beberapa harga BBM, dan sebagainya.
Seorang temannya punya rencana lain. Teman itu merasa akan mendapat dukungan dari seorang mahasiswa yang tegar terhadap rencananya akan melakukan demontrasi di fakultasnya. Demonstrsi itu mengeritik kebijakan fakultas yang dianggapnya tidak adil, memberlakukan mahasiswa secara rasis, dan sebagainya.
Sayang, aktivis mahasiswa itu dengan tidak bersemangat mengatakan bahwa ia tidak bisa mendukung demonstrasi di fakultas. Alasan mahasiswa aktivis itu adalah bahwa ia sungkan, yang dikritik itu "terlalu kecil" baginya, dan sejumlah alasan lain. Karena, selama ini ia terbiasa mengeritik dan demontrasi hal-hal yang besar, yang melibatkan nasib rakyat Indonesia.
Dan seperti diketahui, bahwa pada akhirnya demonstrasi di fakultas itu tidak terlaksana. Sebetulnya, ada juga beberapa mahasiswa memberikan dukungan, tetapi hanya secara lisan dan moral. Beberapa memberikan alasan bahwa jam rencana demonstrasi itu berbenturan dengan jam kuliah, hari itu kebetulan ada acara lain, dan yang paling banyak adalah merasa tidak enak, sungkan.
                                                                    * * *                   
Apa arti dari cerita tersebut? Sebetulnya cuma sederhana, bahwa saat ini ada kecenderungan bahwa banyak orang secara terbuka, kritis, dan berani melakukan kritik kepada pemerintahan Indonesia (politik makro), dan mengalami kegagapan melakukan keritik justru terhadap hal-hal yang secara langsung dihadapi sehari-hari (politik mikro).
Memang, batas-batas politik makro dan mikro ini cukup relatif. Karena bisa jadi masalah kenaikan BBM atau sembako, secara langsung berhubngan dengan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, yang dimaksud dengan palitik makro adalah yang berhubungan dengan politik dan kebijakan nasional. Sementara itu, politik mikro jauh lebih kecil, misalnya politik dalam ruang lingkup fakultas atau universitas, ruang lingkup Rukun Tetangga atau kakalanlah kelurahan, ruang lingkup perusahaan, dan yang setingkat dengan itu.
Betas-batas itu pun pada setiap konteksnya bisa berbeda-beda. Akan tetapi, yang paling menentukan adalah apakah politik tersebut lebih memiliki akses kemampuan yang lebih tinggi dalam menyentuh prilaku politik seseorang (politik yang menyetuh tubuh). Artinya, dalam cerita di atas, seseorang mengalami ketakutan ketika diketahui bahwa aktivitas demonstrasinya secara langsung akan berdampak terhadap dirinya. Apakah itu dalam pengertian fisik, tetapi lebih-lebih dalam pengertian "nasib" seseorang tersebut.
Kita tahu dan maklum bahwa di balik ketakutan mahasiwa demonstrasi di fakultasnya, tersembunyi ketakutan bahwa jika nanti diketahui identitasnya, ia akan memndapat pembalasan, berupa nilai buruk, atau katakanlah sangsi lainnya. Artinya, demonstrasi belum dianggap sebagai mekanisme menyampaikan aspirasi secara terbuka.
Masih terdapat kesadaran lain bahwa menjadi pahlawan pada tataran politik mikro belum tentu "merubah" nasib seseorang untuk mendapat akses politik makro. Ia hanya tetap menjadi pahlawan-pahlawan kecil. Kalau toh perjuangan politik mikro berhasil, dampaknya tidak segera dirasakan pada tataran yang lebih besar.
Berbeda jika seseorang demonstrasi anti kenaikan BBM atau sembako, atau mengeritikan kebijakan pemerintah SBY lainnya. Saat ini, pemerintah pusat, katakanlah representasi negara, mengalami "kesulitan teknis, untuk secara langsung menjahati para kritikus dan demonstran.
Di samping itu, berhadapan dengan aparat belum tentu seperti berhadapan dengan negara (politik makro). Sangat mungkin beberapa kejadian ketika aparat memukul demonstran, kejadian terebut lebih kejadian politik mikro di lapangan, kejadian yang bersifat personal. Tetapi, hampir dapat dipastikan bahwa saat ini mengeritik dalam pengertian politik makro, walaupun tetap ada kemungkinan mendapatkan sangsi, tetapi tidak lagi menakutkan.
Ada sisi yang lebih menjanjikan, bahwa menjadi pahlawan dalam politik makro bisa berimplikasi pada seseorang, apakah dalam bentuk publikasi, atau sangat mungkin ketika kepentingan politik makro lainnya berkepentingan, dan saat ini berarti itu adalah akses ekonomi. Kita tahu, banyak para demonstran politik makro pada tahun 1980-an, saat ini merupakan bagian dari politik makro, dan itu artinya juga akses ekonomi yang lebih besar.
* * *
Hal lain yang ingin dikatakan adalah bahwa fenomena apresiasi terhadap politk makro dan politik mikro ini jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ambillah contoh ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Dulu politik makro memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol politik mikro. Artinya, politik makro memiliki akses langsung terhadap politik, dan sebagai implikasinya politik makro secara langsung memiliki kemampuan menyentuh diri (tubuh) seseorang. Politik mikro pun dengan sewenang-wenang memiliki kemampuan langsung menyentuh diri (tubuh) seorang bahkan atas nama politik makro.
Sebagai konesekuensinya, dulu banyak orang mengalami ketakutan ketika harus berhadapan dengan politik makro (negara). Memang, tetap saja banyak demonstran. Namun, kondisinya sudah jauh berbeda. Waktu itu, jika tidak demonstrasi dan atau bersikap kritis, baik dalam skala makro atau makro, nasibnya sama saja, sama-sama buruk.
Dengan demikian, aktivis demonstran dan kritikus waktu itu berhadapan dengan politik makro dan mikro sekaligus. Batas-batasnya tidak jelas ketika politik mikro selalu dalam kontrol politik makro. Atau paling tidak politik mikro bisa mengatasnamakan politik makro. Dulu untuk melamar pekerjaan di instansi apapun selalu dipersoalkan untuk memiliki loyalitas dengan politik makro.
* * *
Akan tetapi, yang lebih penting yang ingin dikatakan adalah bahwa harus ada aturan permainan dan sekaligus perlindungan yang cukup jelas ketika seseorang berhadapan dengan politik makro ataupun mikro. Memang, saat ini politik makro tidak sepenuhnya mampu mengontrol politik mikro. Akan tetapi, sangat mungkin sejarah berulang ketika politik mikro kembali mengatasnamakan politik makro, atau justru ketika politik mikro memiliki wewenang yang cukup besar dalam "menentukan" nasib seseorang.
Aturan yang perlu disepakati adalah, pertama, bahwa harus ada pengakuan bahwa demontrasi dan bentuk-bentuk prilaku kritis lainnya adalah sebuah mekanisme untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka. Memang, secara musyawarah pun bisa dilakukan. Masalah, dalam musyawarah sering bentuk komunikasi menjadi tidak seimbang, ada yang lebih berkuasa antara yang satu berhadapan dengan yang lain.
Kedua, yang melakukan demonstrasi pun perlu mengontrol dirinya untuk tidak bertindak berlebihan, tindakan yang sangat mungkin menjadi sangat tidak produktif, misalnya jika ada tindakan yang mengarah pada sikap-sikap mau menang sendiri, sikap-sikap yang mengarah pada bentuk-bentuk kekerasan.
Ketiga, pihak pemegang kekuasaan politik mikro juga perlu memahami bahwa kekuasaan itu bersifat sementara. Jangan sampai ketika ia tidak berkuasa lagi, ia juga kelak akan mendapat pembalasan, sesuatu yang beimplikasi pada dirinya. Entah bagaimana caranya. Kita tidak tahu. * * *

1 komentar: