Sabtu, 21 April 2012

CATATAN DARI PINGGIR JALAN (I)


Oleh Aprinus Salam

"Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku."
(Goenawan Mohammad, "Tentang Seorang Yang Terbunuh
di Sekitar Hari Pemilihan Umum",
dalam Asmaradana Pilihan Sajak 1961-1991, Jakarta, 1992.


Maka dapat dipastikan, jika musim kampanye tiba, hampir sebagian besar orang Indonesia berbicara, membahas, menyaksikan, sesuatu yang bernama kampanye. Dari anak-anak hingga nenek-nenek, dari gadis yang malu-malu kucing hingga pemuda yang berandalan, dari pemulung hingga pilot, dari ketua RT hingga presiden, semuanya berurusan dengan kampanye. Jangan tanya, apakah Tuhan tidak tahu menahu urusan kampanye di Indonesia.

Akan tetapi, ini bukan persoalan kampanye an sich. Sudah begitu banyak yang membahas persoalan kampanye, baik di media massa, pada berbagai seminar, dalam berbagai obrolan, dan sebagainya. Ini hanya semacam catatan kecil dari dunia luar kampanye 1997. Catatan tercecer dari seorang penonton di pinggir jalan, sambil menggendong atau memangku anaknya. Tentu saja sambil mengajarkan dengan sabar kepada sang anak yang balita itu, jika warna ini bagaimana mengacungkan jari, jika warna itu bagaimana pula jari-jari harus diacungkan. Karena jika keliru, tidak peduli apakah dia balita berumur dua tahun, kakek-kakek yang hampir sakratul maut, wanita hamil, kepalanya bisa bengkak bahkan bocor.

* * *
Yang pasti, pada akhirnya saya dipaksa untuk tidak begitu peduli apakah anak saya itu mengerti atau tidak dengan penjelasan saya, berkaitan dengan arak-arakan massa, kibaran warna-warna tertentu, acungan jari, suara motor dan polusi, orang- orang yang terkesan beringas dan heroik. Saya katakan pula bahwa bisa jadi arak- arakan massa itu hanya untuk senang-senang belaka, upaya memanipulasi kesuntukan, keresahan, kepengapan, ketakutan, yang secara niscaya dihadapi sehari-hari bangsa Indonesia.

Sambil membetulkan jari-jarinya yang mungil, saya terus memberi penjelasan. Bahwa kita, bangsa Indonesia, hari-hari ini sedang menghadapi suatu peristiwa yang "Insya Allah" terjadi lima tahun sekali, yakni Pemilu, suatu peristiwa yang, katanya, biasa disebut sebagai pesta demokrasi.

Sekali lagi, walaupun saya tidak peduli apakah anak saya mengerti atau tidak, tetapi dalam banyak hal saya tetap berniat baik dengan menyensor beberapa hal. Khawatir juga saya jangan-jangan dia mengerti. Misalnya, saya tidak meneruskan apa itu pesta demokrasi. Siapa saja yang berpesta, apakah mereka yang ramai-ramai itu memang juga sedang berpesta. Apakah istilah pesta demokrasi bukan konsep yang berlebihan.

Apakah tidak mungkin istilah pesta lebih dimaksudkan upaya rakayasa atas kebodohan, ketidaktahuan, irrasionalitas, massa mengambang untuk tujuan politik tertentu. Atau adakah di dalamnya terjadinya semacam dialektika bahwa masyarakat mengambang melihat pesta demokrasi sebagai kesempatan untuk memuntahkan segala kemualan yang bertahun-tahun menyesakkan dada.  

Tapi baiklah, the show must go on. Tidak ada yang perlu disesali, apa lagi ditangisi. Bagaimanapun, kampanye, atau tepatnya katakanlah Pemilu, adalah peristiwa teramat-amat penting yang menentukan jalannya bangsa dan negara. Karena Pemilu kadang diandaikan sebagai tolok ukur utama bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kehidupan politik, sehingga jika itu tidak terjadi masyarakat sedunia akan meragukan apakah bangsa Indonesia memang layak dipercaya sebagai sebuah bangsa dan negara yang memiliki kemandirian mengurus dirinya sendiri.

* * *
Kembali saya jelaskan kepada anak saya. Engkau boleh percaya boleh tidak jika segala bentuk kampanye, dari yang monologis hingga dialogis dengan segala wacana dan bentuknya itu, merupakan pendidikan politik. Tapi engkau boleh tidak percaya jika segala aktivitas yang berkaitan dengan Pemilu merupakan penyangga utama bagi beban pendidikan tersebut. Pedidikan politik tidak bisa dibebankan pada satu peristiwa belaka. Yang namanya pendidikan, pendidikan apapun namanya, adalah proses berkelanjutan sedini mungkin, dan sepanjang hidup.

Namun begitu, karena terlanjur salah kaprah, atau memang dengan sengaja pura-pura tidak tahu, selalu saja konsep pendidikan politik dalam pengertian yang paling permukaan itu dieksploitasi sedemikian rupa sehingga selalu terjadi keterpenggalan sejarah pemahaman terhadap jalannya pendidikan dan kesadaran berpolitik.

Akibatnya, dari waktu ke waktu selalu muncul satu generasi yang "rawan pengetahuan" politik. Satu generasi yang siap berpartisipasi secara semu, bukan berdasarkan kepentingan yang sangat terkait dengan dirinya, bukan pula karena berdasarkan satu kesadaran yang konseptual terhadap arah, arus, dan realitas politik yang sesungguhnya, tetapi lebih sebagai satu generasi penggembira belaka.

Pada taraf inilah rekayasa politik berperan besar untuk menggiring para penggembira tersebut, pada suatu peristiwa politik, apapun itu namanya. Bukan hanya kebetulan Pemilu, tetapi demikian pula untuk peristiwa lain yang, anehnya, selalu saja dapat dikaitkan dengan kepentingan politik.

Lantas, apakah ada yang salah? Kalau saya meneruskan pertanyaan itu, dengan mencoba mencari-cari jawaban, itu artinya saya tidak mencoba untuk menghindari dari cara pengkambinghitaman. Dan itu jelas tidak memberi jalan ke luar dari kemelut persoalan. Yang perlu dilakukan bukan soal bagaimana mencari kambing hitam, lebih dari itu adalah niat baik untuk menyadari kesalahan dan upaya memperbaiki kesalahan sejarah (pendidikan) politik.

* * *
Bahwa masa depan ditentukan seberapa jauh kita memiliki kesungguhan, kejujuran, kecermatan, kehati-hatian, dalam merajut semua jaringan yang penting dan relevan di hari-hari ini. Apakah itu jaringan-jaringan politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan sebagainya, yang kesemuanya itu saling gayut, yang satu sama lain tidak dapat diabaikan atau dianakemaskan. Dengan berat hati, saya katakan hal itu kepadanya.

Terbayang di kepala saya, apa yang dilakukan oleh anak saya lima belas atau dua puluh tahun mendatang? Realitas politik seperti apa yang akan dihadapinya? Pengetahuan politik seperti apa yang dipahaminya? Kebodohan, irrasionalitas, kemajuan, dan kepiawaian seperti apa pula yang akan dialaminya? Lamunan saya buyar, karena sambil tergopoh-gopoh saya membetulkan acungan jarinya ketika saya ketahui yang tertekuk hanya jari jempol. Acungan jari yang keliru, sama halnya dengan mengundang kejahatan, mengundang bahaya, baik pada tingkat pribadi, lokal, dan nasional.

Memang, di hari-hari ini, hampir setiap sore, sambil momong, dengan setia saya berdiri di pinggir jalan. Dan seperti kita ketahui, "dunia luar" kampanye, bukan berarti tidak kalah gayeng dan ramai dibandingkan para massa perserta kampanye. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "dunia luar" kampanye justru lebih meriah dibandingkan kampanye. "Dunia luar" kampanyelah yang memiliki kans dan kesempatan untuk membahas persoalan kampanye hampir dua puluh empat jam penuh.

Artinya, masyarakat (awam), kalau boleh disebut demikian, seperti terkooptasi sedemikian rupa untuk ikut berpartisipasi dengan caranya sendiri-sendiri. Barangkali "kerawanan pengetahuan" politik lebih dapat dirasakan. Namun, itulah realitas politik Indonesia. Di dalam dirinya, tidak ada satu keharusanpun untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Masyarakat (awam) sungguh sangat bebas memberi arti, mencoba memaknai apapun peristiwa (politik) yang dilihatnya, yang dirasakannya, yang dihadapinya, atau yang disukai dan tidak disukainya.

Terbersit juga keraguan di hati saya, sebetulnya saya sedang berbicara dengan siapa. Apakah betul saya sedang mengajak "diskusi" anak saya. Jangan-jangan saya hanya bercakap-cakap dengan diri sendiri. Satu metode protes yang memang tidak canggih, ketika disadari cara lain tampaknya tidak mungkin. Yang tidak mustahil dirasakan pula oleh sebagian besar orang Indonesia. * * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar