Oleh Aprinus Salam
"Tuhan, berikanlah suara-Mu,
kepadaku."
(Goenawan Mohammad, "Tentang
Seorang Yang Terbunuh
di Sekitar Hari Pemilihan
Umum",
dalam Asmaradana Pilihan Sajak
1961-1991, Jakarta, 1992.
Maka dapat dipastikan, jika musim
kampanye tiba, hampir sebagian besar orang Indonesia berbicara, membahas,
menyaksikan, sesuatu yang bernama kampanye. Dari anak-anak hingga nenek-nenek,
dari gadis yang malu-malu kucing hingga pemuda yang berandalan, dari pemulung hingga
pilot, dari ketua RT hingga presiden, semuanya berurusan dengan kampanye.
Jangan tanya, apakah Tuhan tidak tahu menahu urusan kampanye di Indonesia.
Akan tetapi, ini bukan persoalan
kampanye an sich. Sudah begitu banyak yang membahas persoalan kampanye, baik di
media massa, pada berbagai seminar, dalam berbagai obrolan, dan sebagainya. Ini
hanya semacam catatan kecil dari dunia luar kampanye 1997. Catatan tercecer
dari seorang penonton di pinggir jalan, sambil menggendong atau memangku
anaknya. Tentu saja sambil mengajarkan dengan sabar kepada sang anak yang
balita itu, jika warna ini bagaimana mengacungkan jari, jika warna itu
bagaimana pula jari-jari harus diacungkan. Karena jika keliru, tidak peduli
apakah dia balita berumur dua tahun, kakek-kakek yang hampir sakratul maut,
wanita hamil, kepalanya bisa bengkak bahkan bocor.
* * *
Yang pasti, pada akhirnya saya
dipaksa untuk tidak begitu peduli apakah anak saya itu mengerti atau tidak
dengan penjelasan saya, berkaitan dengan arak-arakan massa, kibaran warna-warna
tertentu, acungan jari, suara motor dan polusi, orang- orang yang terkesan
beringas dan heroik. Saya katakan pula bahwa bisa jadi arak- arakan massa itu
hanya untuk senang-senang belaka, upaya memanipulasi kesuntukan, keresahan,
kepengapan, ketakutan, yang secara niscaya dihadapi sehari-hari bangsa
Indonesia.
Sambil membetulkan jari-jarinya yang
mungil, saya terus memberi penjelasan. Bahwa kita, bangsa Indonesia, hari-hari
ini sedang menghadapi suatu peristiwa yang "Insya Allah" terjadi lima
tahun sekali, yakni Pemilu, suatu peristiwa yang, katanya, biasa disebut
sebagai pesta demokrasi.
Sekali lagi, walaupun saya tidak
peduli apakah anak saya mengerti atau tidak, tetapi dalam banyak hal saya tetap
berniat baik dengan menyensor beberapa hal. Khawatir juga saya jangan-jangan
dia mengerti. Misalnya, saya tidak meneruskan apa itu pesta demokrasi. Siapa
saja yang berpesta, apakah mereka yang ramai-ramai itu memang juga sedang
berpesta. Apakah istilah pesta demokrasi bukan konsep yang berlebihan.
Apakah tidak mungkin istilah pesta
lebih dimaksudkan upaya rakayasa atas kebodohan, ketidaktahuan, irrasionalitas,
massa mengambang untuk tujuan politik tertentu. Atau adakah di dalamnya
terjadinya semacam dialektika bahwa masyarakat mengambang melihat pesta
demokrasi sebagai kesempatan untuk memuntahkan segala kemualan yang
bertahun-tahun menyesakkan dada.
Tapi baiklah, the show must go on. Tidak ada yang perlu disesali, apa lagi
ditangisi. Bagaimanapun, kampanye, atau tepatnya katakanlah Pemilu, adalah
peristiwa teramat-amat penting yang menentukan jalannya bangsa dan negara.
Karena Pemilu kadang diandaikan sebagai tolok ukur utama bagi keberlangsungan
berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kehidupan politik, sehingga jika itu
tidak terjadi masyarakat sedunia akan meragukan apakah bangsa Indonesia memang
layak dipercaya sebagai sebuah bangsa dan negara yang memiliki kemandirian
mengurus dirinya sendiri.
* * *
Kembali saya jelaskan kepada anak
saya. Engkau boleh percaya boleh tidak jika segala bentuk kampanye, dari yang
monologis hingga dialogis dengan segala wacana dan bentuknya itu, merupakan
pendidikan politik. Tapi engkau boleh tidak percaya jika segala aktivitas yang
berkaitan dengan Pemilu merupakan penyangga utama bagi beban pendidikan tersebut.
Pedidikan politik tidak bisa dibebankan pada satu peristiwa belaka. Yang
namanya pendidikan, pendidikan apapun namanya, adalah proses berkelanjutan
sedini mungkin, dan sepanjang hidup.
Namun begitu, karena terlanjur salah
kaprah, atau memang dengan sengaja pura-pura tidak tahu, selalu saja konsep
pendidikan politik dalam pengertian yang paling permukaan itu dieksploitasi
sedemikian rupa sehingga selalu terjadi keterpenggalan sejarah pemahaman
terhadap jalannya pendidikan dan kesadaran berpolitik.
Akibatnya, dari waktu ke waktu
selalu muncul satu generasi yang "rawan pengetahuan" politik. Satu
generasi yang siap berpartisipasi secara semu, bukan berdasarkan kepentingan
yang sangat terkait dengan dirinya, bukan pula karena berdasarkan satu kesadaran
yang konseptual terhadap arah, arus, dan realitas politik yang sesungguhnya,
tetapi lebih sebagai satu generasi penggembira belaka.
Pada taraf inilah rekayasa politik
berperan besar untuk menggiring para penggembira tersebut, pada suatu peristiwa
politik, apapun itu namanya. Bukan hanya kebetulan Pemilu, tetapi demikian pula
untuk peristiwa lain yang, anehnya, selalu saja dapat dikaitkan dengan
kepentingan politik.
Lantas, apakah ada yang salah? Kalau
saya meneruskan pertanyaan itu, dengan mencoba mencari-cari jawaban, itu
artinya saya tidak mencoba untuk menghindari dari cara pengkambinghitaman. Dan
itu jelas tidak memberi jalan ke luar dari kemelut persoalan. Yang perlu
dilakukan bukan soal bagaimana mencari kambing hitam, lebih dari itu adalah
niat baik untuk menyadari kesalahan dan upaya memperbaiki kesalahan sejarah
(pendidikan) politik.
* * *
Bahwa masa depan ditentukan seberapa
jauh kita memiliki kesungguhan, kejujuran, kecermatan, kehati-hatian, dalam
merajut semua jaringan yang penting dan relevan di hari-hari ini. Apakah itu
jaringan-jaringan politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan sebagainya,
yang kesemuanya itu saling gayut, yang satu sama lain tidak dapat diabaikan
atau dianakemaskan. Dengan berat hati, saya katakan hal itu kepadanya.
Terbayang di kepala saya, apa yang
dilakukan oleh anak saya lima belas atau dua puluh tahun mendatang? Realitas
politik seperti apa yang akan dihadapinya? Pengetahuan politik seperti apa yang
dipahaminya? Kebodohan, irrasionalitas, kemajuan, dan kepiawaian seperti apa
pula yang akan dialaminya? Lamunan saya buyar, karena sambil tergopoh-gopoh
saya membetulkan acungan jarinya ketika saya ketahui yang tertekuk hanya jari
jempol. Acungan jari yang keliru, sama halnya dengan mengundang kejahatan,
mengundang bahaya, baik pada tingkat pribadi, lokal, dan nasional.
Memang, di hari-hari ini, hampir
setiap sore, sambil momong, dengan setia saya berdiri di pinggir jalan. Dan
seperti kita ketahui, "dunia luar" kampanye, bukan berarti tidak
kalah gayeng dan ramai dibandingkan para massa perserta kampanye. Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa "dunia luar" kampanye justru lebih
meriah dibandingkan kampanye. "Dunia luar" kampanyelah yang memiliki
kans dan kesempatan untuk membahas persoalan kampanye hampir dua puluh empat jam
penuh.
Artinya, masyarakat (awam), kalau
boleh disebut demikian, seperti terkooptasi sedemikian rupa untuk ikut
berpartisipasi dengan caranya sendiri-sendiri. Barangkali "kerawanan
pengetahuan" politik lebih dapat dirasakan. Namun, itulah realitas politik
Indonesia. Di dalam dirinya, tidak ada satu keharusanpun untuk menentukan mana
yang benar dan mana yang salah. Masyarakat (awam) sungguh sangat bebas memberi
arti, mencoba memaknai apapun peristiwa (politik) yang dilihatnya, yang
dirasakannya, yang dihadapinya, atau yang disukai dan tidak disukainya.
Terbersit juga keraguan di hati
saya, sebetulnya saya sedang berbicara dengan siapa. Apakah betul saya sedang
mengajak "diskusi" anak saya. Jangan-jangan saya hanya bercakap-cakap
dengan diri sendiri. Satu metode protes yang memang tidak canggih, ketika
disadari cara lain tampaknya tidak mungkin. Yang tidak mustahil dirasakan pula
oleh sebagian besar orang Indonesia. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar