Oleh Aprinus Salam
Secara
historis, masyarakat Indonesia tidak memiliki tradisi yang cukup berarti dalam
memilih pimpinan secara langsung. Memang, dalam skala yang sangat terbatas,
masyarakat Indonesia punya sedikit pengalaman dalam memilih kades. Akan tetapi,
dalam budaya-budaya lokal kita itu, karena ada faktor-faktor kolusi, nepotisme,
sistem kekerabatan, budaya ewuh-pekewuh,
bahkan politik uang, maka proses pemilihan pimpinan lokal itu sangat sering
berjalan tidak demokratis.
Kita
tahu, dulu, dalam sejarah dan tradisinya, pimpinan itu memang tidak dipilih. Proses
untuk menjadi pemimpin, penguasa, tidak jarang didahului oleh
peperangan-peperangan perebutan kekuasaan. Siapa yang kuat, yang bersiasat,
bahkan yang “licik” dan “tega”, maka dialah yang akan berkuasa. Kemudian,
puncak pimpinan kekuasaan itu diturunkan secara genetik.
Kemudian,
dalam sejarah Indonesia modern (pasca kemerdekaan), pemilu yang dianggap demokratis
terjadi tahun 1955, yakni pemilu untuk memilih anggota legislatif. Dan kelak
anggota legislatif itu memilih presiden. Secara niscaya, pemilu tahun itu juga
tidak pemilu memilih pempinan secara langsung. Terlepas dari pemilu tersebut
dianggap demokratis, posisi Soekarno yang diusung partai besar seperti PNI, tak
pelak telah memastikan dirinya untuk menjadi presiden.
Tradisi
pemilu itu diteruskan pada masa Orde Baru, bahkan dalam kondisi yang semuanya
serba diatur. Hampir semua proses pemilu direkayasa sedemikian rupa sehingga
dalam praktiknya masyarakat Indonesia tidak memiliki pengalaman apapun dalam
memilih pimpinan secara langsung. Untuk pemilu di atas kades, seperti pemilihan
bupati, gubernur, dan presiden, juga pemilihan langsung anggota legislatif,
praktis masyarakat Indonesia baru berpengalaman lima tahun terakhir ini.
Persoalannya
adalah apa dampak dan implikasi-implikasi ketika masyarakat Indonesia saat ini
harus memilih pimpinannya secara langsug, baik pemilihan legislatif, dan
terutama untuk posisi eksekutif. Persoalan itu akan dilihat, terutama, dalam
mekanisme dan proses-proses kebudayaan kita. Kebudayaan yang dimaksud di sini
lebih dalam konteks sesuatu yang dianggap dominan.
* * *
Paling
tidak terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan langsung
itu, yakni (1) kondisi-kondisi kebudayaan, (2) masyarakat (pemilih), (3) calon
pemimpinnya, dan (4) peraturan dan mekanisme pemilunya. Keempat hal ini tentu tidak
bisa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi saling terintegrasi antara
satu dengan yang lain.
Kondisi-kondisi
kebudayaan. Seperti telah disinggung, kita tidak memiliki kecanggihan apapun
dalam memilih pimpinan secara langsung. Kebudayaan kita tidak mengajarkan mekanisme
dan cara-cara bagaimana memilih pimpinan. Memang, tentu mekanisme itu bisa
dipelajari. Dalam kondisi itu, kelak hal yang akan terjadi adalah bahwa
masyarakat, mau tidak mau, secara langsung hanya dituntun, seperti orang buta,
dalam memilih pimpinannya. Hal itu berjalan paralel dengan kondisi kedua
berikut.
Kondisi
masyarakat. Walaupun proses pembebasan buta aksara dan melek baca secara kuantitatif Indonesia merupakan salah satu negara
yang paling berhasil di dunia, tetapi itu tidak berjalan paralel dengan peningkatan
melek politik. Kondisi itu selain karena
konsktruksi kebudayaan, secara historis politik di Indonesia memberikan citra yang
pahit dalam perjalanannya.
Karena
citra yang pahit itu, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia memberikan
perlakuan yang berbeda-beda terhadap realitas politik. Sebagian besar cuek dan tidak mau tahu, sebagian yang lain
melihat dari sisi-sisi negatif. Sebagian kecil (elite) memanfaatkannya untuk
mendapatkan keuntungan. Akibatnya, politik pemilu berjalan rancu, tumpang
tindih, dan penuh dengan eksperimentasi yang tak kunjung mendapatkan bentuknya.
Situasi
calon pemimpin. Berbeda dengan kedua kondisi di atas, orang Indonesia mendapat
pengalaman historis yang cukup berarti bagaimana merebut posisi pimpinan
kekuasaan. Itulah sebabnya, calon pimpinan (capres dan cawapres) di Indonesia
demikian banyak.
Dalam
prosesnya, sejarah mengajarkan bagaimana merebut posisi pimpinan kekuasaan itu
dalam berbagai cara. Misalnya, bagaimana merebut posisi pimpinan secara tidak fair, mengandalkan modal kapital (uang)
dan modal sosial (popularitas) secara tidak proporsional. Calon pimpinan juga
melakukan kasak-kusuk (kolusi) dengan nuansa permusuhan dan kebcncian. Sejarah
juga mengajarkan jika perlu melakukan kampanye hitam, pembunuhan karakter (dulu
melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik), dan sebagainya.
Belakangan,
terdapat lembaga-lembaga (pemerintah dan nonpemerintah) yang mencoba menegakkan
proses pemilu secara demokratis. Akan tetapi, kita pun tahu bahwa istitusionalisasi
politik belum berhasil di negeri kita ini. Masih begitu banyak perluang dan
celah sehingga pelembagaan pemilu itu masih bisa digadaikan, mungkin karena
kekuatan uang, mungkin karena kekuatan pengaruh politik lainnya. Hal ini
berjalan paralel dengan lemahnya penegakkan hukum di Indonesia.
Peraturan
dan mekanisme pemilu. Pengaturan dan mekanisme pemilu untuk pilihan legislatif
dan eksekutif secara langsung memang sedang digodog terus menerus. Karena kita
memang belum cukup berpengalaman, maka hingga hari ini proses peraturan dan
mekanisme masih dalam perdebatan.
Hal
menggelikan adalah bahwa perdebatan terjadi tidak untuk mempertimbangkan
kemapanan peraturan dan mekanisme itu sendiri demi kemapan pelembagaan bernegara
jangka panjang. Akan tetapi, perdebatan lebih mempersoalkan apakah peraturan
dan mekanisme itu merugikan atau menguntungkan partai, atau calon pimpinan.
Itulah sebabnya, perdebatan dalam wacana tersebut menyebabkan peraturan dan
mekanisme pemilu selalu berubah-ubah, tergantung kelak siapa yang berkuasa dan
ingin mempertahankan kekuasannya.
Implikasinya.
Dalam kondisi-kondisi di atas, maka dapat dipastikan politik pemilu dan
kemunculan calon pemimpin dan pemimpin kita bukan berdasarkan suatu proses
pilihan sadar rakyat. Rakyat tidak lebih menjadi bagian dari rekayasa politik
yang berjalan dengan tekanan, kepalsuan, dan tipu-muslihat.
Memang,
seperti terbukti pada tahun 2004, pemilihan legislatif dan presiden berjalan
dengan lancar. Akan tetapi, siapapun presiden dan wapres yang terpilih, maka
secara kultural ia tidak akan mendapatkan dukungan dengan kesadaran budaya
berpolitik masyarakatnya. Dalam perjalanannya, ia akan selalu mendapatkan
ancaman, atau akan banyak pihak-pihak yang secara kultural memusuhinya.
Begitulah
politik kekuasaan kita berjalan, dari waktu ke waktu. Jika tidak ada kondisi
kultural yang memaksa dengan cetak biru yang mapan, maka secara kultural
politik pemilu kita belum menjanjikan apa-apa. * * *
Aprinus Salam, staf pengajar
Fakultas Ilmu Budaya UGM.
CASINO HOTEL CASINO, CA - Mapyro
BalasHapusFind the BEST CASINO HOTEL 거제 출장마사지 CASINO 경상남도 출장안마 in CA (Salerno 인천광역 출장마사지 Valley), CA and explore other nearby hotels. 안양 출장샵 Make a 이천 출장샵 reservation and book your stay today!