Oleh Aprinus Salam
kalaulah hidup adalah perjudian
jangan pikir arti kalah dan menang
kiti butuh bertahan hingga malam
larut
dan fajar mencapai Tepian tanpa
luput
("Syair Perjudian",
Suminto. A. Sayuti dalam Syair-Syair Cinta, 1990)
Hari-hari musim kampanye, nonton
pawai kendaraan bermotor bagi saya seperti memenuhi kewajiban. Karena punya
anak balita yang nakal, maka untuk menenangkannya saya menggertak-sayang bahwa
jika masih tetap nakal tidak diajak nonton kampanye. Jika tidak mau makan,
tidak dibawa melihat kampanye. Jika tidak mau tidur, maka kampanyenya dibatalkan.
Tidak tahu pasti, di mana letak
kekuatan kata-kata kampanye itu, sehingga sang anak relatif patuh dibandingkan
hari-hari sebelumnya. Mungkin di matanya kampanye itu adalah sesuatu yang
menyenangkan, beramai-ramai berkendaraan motor, aneh, mengherankan,
bendera-bendera yang berkibaran, sesuatu yang sangat mencuri perhatian. (Jangan
lupa, hampir setiap balita paling suka diajak berjalan- jalan dengan
kendaraan).
Setiap usai menunaikan perintah,
begitu mendengar suara raungan motor, maka dengan tegas ia menuntut haknya
untuk nonton konvoi motor itu. Nah, sebagai bapak yang baik, saya harus
memenuhi janji saya. Walaupun saya juga tidak perlu merasa munafik, bahwa
jangan dikira nonton kampanye dari pingir jalan itu kalah asyik dibanding yang
ikut kampanye. (Jangan dikira saya tidak suka nonton kampanye).
Saking seringnya, secara tidak
sengaja kami merasa di antara sesama penonton kampanye teman sekampung, seperti
membentuk satu komunitas tersendiri. Ciri komunitas yang kami bentuk antara
lain tidak fanatis terhadap satu OPP tertentu, dengan cara berpartisipasi penuh
terhadap setiap OPP dengan membawa kain berwarna atau bendera sesuai dengan
yang sedang berkampanye. Sembari tentu saja selalu mengacungkan jari, kalau
tidak ingin cari perkara.
Dapat diperkirakan, komunitas
seperti itu juga terbentuk bagi pengendara kendaraan umum dan pribadi. Mau
tidak mau, pada kampanye untuk OPP tertentu mereka terpaksa atau tidak memberi
"kode" khusus apakah berupa warna, acungan jari, agar dianggap
simpatisan, orang dalam, atau komunitas sendiri . Dengan begitu, secara
langsung atau tidak "ketakutan" terhadap arak-arakan, secara
kontemporer memiliki kekuatan memaksa untuk menetralkan fanatisme bagi
komunitas bayangan itu, meminjam terminologi B. Anderson (1991), siapapun ia
jika secara kebetulan berdiri di luar komunitas inti peserta kampanye.
* * *
So, kata saya memulai ceramah kepada
sang anak. Coba kamu hitung berapa biaya yang harus dibuang untuk kegiatan
drama politik seperti yang kamu lihat itu. Berapa ratus ton bensin, berapa ribu
yard kain, berapa korban nyawa dan luka-luka, biaya kerusakan kendaraan dan
bangunan (fisik), cat, waktu produktif yang harus terbuang, perkelahian dan
permusuhan, dan lain sebagainya. Belum dampak polusi yang disebabkannya, apakah
kepada kesehatan manusia dan kesehatan ekologis, kesehatan alam semesta.
Tidak jarang banyak orang berkata
politik itu mahal, mahal sekali. Jangankan cuma sekadar biaya material, nyawa
puluhan ribu orang saja bisa berterbangan percuma. Dalam sejarah peradaban manusia,
politik (ambisi terhadap kekuasaan) memang paling banyak memakan korban
manusia. Jadi, jangan salahkan jika hingga hari ini begitu banyak orang yang
masih memiliki persepsi bahwa politik itu kejam, kotor, tak punya hati nurani.
Karena, tampaknya begitulah.
Oleh karena itu, engkau anakku, yang
rajin dan bijaklah belajar. Hingga pada tataran tertentu engkau memiliki
pemahaman dan pengetahuan yang memadai berkaitan dengan politik, khususnya.
Politik apa pun. Karena, jika engkau tidak waspada terhadapnya, bukan saja
engkau akan tertipu dan terpedaya, jangan-jangan engkau akan terbunuh olehnya.
Namun, dalam politik persoalannya
bukan soal mahal atau tidak, boros atau tidak. Tapi seberapa jauh memberi makna
yang segnifikan bagi proses pemanusiaan yang dapat dipertanggungjawabkan,
beradab, agar pencapaian kualitas kemanusiaan kita tidak semakin merosot
seperti akhir-akhir ini kita amat mengkhawatirkannya. Bayangkan, hanya
gara-gara simbolisasi jari saja, bisa terjadi pembantaian, pertumpahan darah.
Untuk sementara pembicaraan
terhenti. Raungan suara motor-motor membuat saya agak ragu apakah anak saya
dapat mendengar suara saya yang sudah setengah berteriak. Tak lama kemudian,
saya lanjutkan. Berkampanye itu nak, tidak lebih seperti orang yang sedang asyik
berjudi. Kamu tahu, di mana letak asyiknya bermain judi. Letak keasyikannya
adalah proses berharap bahwa untuk taruhan berikutnya, kitalah yang bakal
memenangkannya. Jadi lebih pada proses berharapnya. Soal apakah kemudian kita
kalah atau menang, itu persoalan lain.
Ya, tentu saja tidak sama persis.
Kalau bermain judi, bermain kartu remi, sam gong, kiu-kiu, misalnya, hampir
boleh dikata kita tidak tahu persis siapa yang bakal memenangkan pertaruhan.
Masa depan adalah misteri. Prinsip itulah yang barangkali membedakannya. Dalam
kampanye, tepatnya Pemilu di Indonesia, pengetahuan siapa yang bakal memang dan
kalah, tampaknya seperti menjadi rahasia umum. (Paling tidak hingga Pemilu
1997).
Tidak perlu merasa bersalah, tentu
saja hampir semua orang berharap dialah yang bakal memenangkan perjudian. Untuk
itu, ada beberapa hal yang saling bergantung, nasib baik, keahlian, dan
jenis/peraturan permainan. Hal tersebut masih perlu ditambah dengan keberanian
melakukan "keterampilan" kasak-kusuk, dengan melakukan manuver-manuver
tertentu agar pertarungan sedapat mungkin dapat dimenangkan.
Tidak perlu bertanya apakah dalam
politik cara memenangkan perjudian, soal fair play, sportivitas, sangat
dijunjung tinggi. Pertanyaan itu hanya menunjukkan bahwa kita masih infantil,
lugu, bahkan tak tahu diri. Kiat, taktik, strategi, muslihat, trik-trik,
metode, merupakan anak kandung yang
harus dimanfaatkan dengan baik ketika orang harus berpolitik. Kalau ia tak
memahami hal itu, jangan coba-coba terjun ke dalam misteri masa datang.
Kembali saya terhenti untuk
tersenyum sejenak. Seorang ibu yang mungkin telah berumur enam puluh tahun,
yang hampir setiap sore kami bertemu dengannya, selalu punya cara yang khas
ketika merespon para kampanyewan dan kampanyewati. Sambil mengacungkan jarinya,
ia menekuk-nekukan kakinya, berulang kali, dengan cara yang sama terus menerus.
Suatu gerakan yang dalam pandangan saya menjadi sangat sakral.
Terbayang di kapala saya, apa yang
ia bayangkan dalam benaknya yang telah banyak makan asam garam itu. Apakah ia
sungguh bergembira? Apakah ia tidak sedang mentertawakan arak-arakan itu?
Apakah ia jenuh dengan kehidupan sehari- harinya, sehingga kampanye menjadi
hiburan alternatif. Kalau itu yang terjadi, perlu diusulkan kepada pemerintah
agar kampanye pemilu sebaiknya dilangsungkan sekali setahun. Atau jangan-jangan
sesungguhnya ia hanya ingin menyaksikan cucunya yang saya tahu setiap ada
kampanye ikut turun ke jalan.
Dan apa pula yang dipikirkan oleh
anak saya? Apakah ia juga jenuh dengan kehidupan sehari-harinya sehingga perlu
hiburan alternatif?
* * *
Saya melihat ke jam tangan. Sudah
hampir dua setengah jam kami duduk pada sebuah tembok pagar di pinggir jalan
itu. Sudah untuk yang ketiga kalinya pula saya bertanya kepada anak apakah
sudah capek atau ngantuk dan perlu pulang. Selalu saja dijawabnya belum.
Padahal punggung saya seperti hampir patah. Dan mata pun seperti
berkunang-kunang. Rasanya, kualitas keasyikan dalam menikmati arak- arakan
mendekati titik nol. Namun, demi memenuhi kewajiban, saya harus bertahan.
Keasyikan seorang anak mungkin
mengalahkan rasa capeknya. Karena kasihan, dia saya pangku. Dengan harapan, ia
bertambah enjoy dalam menyaksikan massa yang berseliweran hilir mudik,
berteriak-teriak dengan motor. Saya tidak tahu di mana letak kesalahan saya
karena berinisiatif memangkunya. Yang jelas beberapa menit kemudian, saya baru
tahu ternyata anak saya telah teridur dengan pulas.
Mungkin dia bermimpi. Atau minimal
saya berharap dia bermimpi. Karena, bermimpi itu penting. Bermimpi menjadi pahlawan,
atau katakanlah seperti seorang pendekar, pemberantas kejahatan,
ketidakbenaran, kemunafikan, dan sebagainya. Sambil dengan gagah berdiri pada
sebuah motor, dan dengan jubah berterbangan di punggung, berwarna-warni, merah,
kuning, hijau. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar