Sabtu, 21 April 2012

CATATAN DARI PINGGIR JALAN (II)


Oleh Aprinus Salam

kalaulah hidup adalah perjudian
jangan pikir arti kalah dan menang
kiti butuh bertahan hingga malam larut
dan fajar mencapai Tepian tanpa luput
("Syair Perjudian", Suminto. A. Sayuti dalam Syair-Syair Cinta, 1990)

Hari-hari musim kampanye, nonton pawai kendaraan bermotor bagi saya seperti memenuhi kewajiban. Karena punya anak balita yang nakal, maka untuk menenangkannya saya menggertak-sayang bahwa jika masih tetap nakal tidak diajak nonton kampanye. Jika tidak mau makan, tidak dibawa melihat kampanye. Jika tidak mau tidur, maka kampanyenya dibatalkan.

Tidak tahu pasti, di mana letak kekuatan kata-kata kampanye itu, sehingga sang anak relatif patuh dibandingkan hari-hari sebelumnya. Mungkin di matanya kampanye itu adalah sesuatu yang menyenangkan, beramai-ramai berkendaraan motor, aneh, mengherankan, bendera-bendera yang berkibaran, sesuatu yang sangat mencuri perhatian. (Jangan lupa, hampir setiap balita paling suka diajak berjalan- jalan dengan kendaraan).

Setiap usai menunaikan perintah, begitu mendengar suara raungan motor, maka dengan tegas ia menuntut haknya untuk nonton konvoi motor itu. Nah, sebagai bapak yang baik, saya harus memenuhi janji saya. Walaupun saya juga tidak perlu merasa munafik, bahwa jangan dikira nonton kampanye dari pingir jalan itu kalah asyik dibanding yang ikut kampanye. (Jangan dikira saya tidak suka nonton kampanye).

Saking seringnya, secara tidak sengaja kami merasa di antara sesama penonton kampanye teman sekampung, seperti membentuk satu komunitas tersendiri. Ciri komunitas yang kami bentuk antara lain tidak fanatis terhadap satu OPP tertentu, dengan cara berpartisipasi penuh terhadap setiap OPP dengan membawa kain berwarna atau bendera sesuai dengan yang sedang berkampanye. Sembari tentu saja selalu mengacungkan jari, kalau tidak ingin cari perkara.

Dapat diperkirakan, komunitas seperti itu juga terbentuk bagi pengendara kendaraan umum dan pribadi. Mau tidak mau, pada kampanye untuk OPP tertentu mereka terpaksa atau tidak memberi "kode" khusus apakah berupa warna, acungan jari, agar dianggap simpatisan, orang dalam, atau komunitas sendiri . Dengan begitu, secara langsung atau tidak "ketakutan" terhadap arak-arakan, secara kontemporer memiliki kekuatan memaksa untuk menetralkan fanatisme bagi komunitas bayangan itu, meminjam terminologi B. Anderson (1991), siapapun ia jika secara kebetulan berdiri di luar komunitas inti peserta kampanye.

* * *
So, kata saya memulai ceramah kepada sang anak. Coba kamu hitung berapa biaya yang harus dibuang untuk kegiatan drama politik seperti yang kamu lihat itu. Berapa ratus ton bensin, berapa ribu yard kain, berapa korban nyawa dan luka-luka, biaya kerusakan kendaraan dan bangunan (fisik), cat, waktu produktif yang harus terbuang, perkelahian dan permusuhan, dan lain sebagainya. Belum dampak polusi yang disebabkannya, apakah kepada kesehatan manusia dan kesehatan ekologis, kesehatan alam semesta.

Tidak jarang banyak orang berkata politik itu mahal, mahal sekali. Jangankan cuma sekadar biaya material, nyawa puluhan ribu orang saja bisa berterbangan percuma. Dalam sejarah peradaban manusia, politik (ambisi terhadap kekuasaan) memang paling banyak memakan korban manusia. Jadi, jangan salahkan jika hingga hari ini begitu banyak orang yang masih memiliki persepsi bahwa politik itu kejam, kotor, tak punya hati nurani. Karena, tampaknya begitulah.

Oleh karena itu, engkau anakku, yang rajin dan bijaklah belajar. Hingga pada tataran tertentu engkau memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai berkaitan dengan politik, khususnya. Politik apa pun. Karena, jika engkau tidak waspada terhadapnya, bukan saja engkau akan tertipu dan terpedaya, jangan-jangan engkau akan terbunuh olehnya.

Namun, dalam politik persoalannya bukan soal mahal atau tidak, boros atau tidak. Tapi seberapa jauh memberi makna yang segnifikan bagi proses pemanusiaan yang dapat dipertanggungjawabkan, beradab, agar pencapaian kualitas kemanusiaan kita tidak semakin merosot seperti akhir-akhir ini kita amat mengkhawatirkannya. Bayangkan, hanya gara-gara simbolisasi jari saja, bisa terjadi pembantaian, pertumpahan darah.

Untuk sementara pembicaraan terhenti. Raungan suara motor-motor membuat saya agak ragu apakah anak saya dapat mendengar suara saya yang sudah setengah berteriak. Tak lama kemudian, saya lanjutkan. Berkampanye itu nak, tidak lebih seperti orang yang sedang asyik berjudi. Kamu tahu, di mana letak asyiknya bermain judi. Letak keasyikannya adalah proses berharap bahwa untuk taruhan berikutnya, kitalah yang bakal memenangkannya. Jadi lebih pada proses berharapnya. Soal apakah kemudian kita kalah atau menang, itu persoalan lain.

Ya, tentu saja tidak sama persis. Kalau bermain judi, bermain kartu remi, sam gong, kiu-kiu, misalnya, hampir boleh dikata kita tidak tahu persis siapa yang bakal memenangkan pertaruhan. Masa depan adalah misteri. Prinsip itulah yang barangkali membedakannya. Dalam kampanye, tepatnya Pemilu di Indonesia, pengetahuan siapa yang bakal memang dan kalah, tampaknya seperti menjadi rahasia umum. (Paling tidak hingga Pemilu 1997).

Tidak perlu merasa bersalah, tentu saja hampir semua orang berharap dialah yang bakal memenangkan perjudian. Untuk itu, ada beberapa hal yang saling bergantung, nasib baik, keahlian, dan jenis/peraturan permainan. Hal tersebut masih perlu ditambah dengan keberanian melakukan "keterampilan" kasak-kusuk, dengan melakukan manuver-manuver tertentu agar pertarungan sedapat mungkin dapat dimenangkan.

Tidak perlu bertanya apakah dalam politik cara memenangkan perjudian, soal fair play, sportivitas, sangat dijunjung tinggi. Pertanyaan itu hanya menunjukkan bahwa kita masih infantil, lugu, bahkan tak tahu diri. Kiat, taktik, strategi, muslihat, trik-trik, metode,  merupakan anak kandung yang harus dimanfaatkan dengan baik ketika orang harus berpolitik. Kalau ia tak memahami hal itu, jangan coba-coba terjun ke dalam misteri masa datang.

Kembali saya terhenti untuk tersenyum sejenak. Seorang ibu yang mungkin telah berumur enam puluh tahun, yang hampir setiap sore kami bertemu dengannya, selalu punya cara yang khas ketika merespon para kampanyewan dan kampanyewati. Sambil mengacungkan jarinya, ia menekuk-nekukan kakinya, berulang kali, dengan cara yang sama terus menerus. Suatu gerakan yang dalam pandangan saya menjadi sangat sakral.

Terbayang di kapala saya, apa yang ia bayangkan dalam benaknya yang telah banyak makan asam garam itu. Apakah ia sungguh bergembira? Apakah ia tidak sedang mentertawakan arak-arakan itu? Apakah ia jenuh dengan kehidupan sehari- harinya, sehingga kampanye menjadi hiburan alternatif. Kalau itu yang terjadi, perlu diusulkan kepada pemerintah agar kampanye pemilu sebaiknya dilangsungkan sekali setahun. Atau jangan-jangan sesungguhnya ia hanya ingin menyaksikan cucunya yang saya tahu setiap ada kampanye ikut turun ke jalan.
Dan apa pula yang dipikirkan oleh anak saya? Apakah ia juga jenuh dengan kehidupan sehari-harinya sehingga perlu hiburan alternatif?

* * *
Saya melihat ke jam tangan. Sudah hampir dua setengah jam kami duduk pada sebuah tembok pagar di pinggir jalan itu. Sudah untuk yang ketiga kalinya pula saya bertanya kepada anak apakah sudah capek atau ngantuk dan perlu pulang. Selalu saja dijawabnya belum. Padahal punggung saya seperti hampir patah. Dan mata pun seperti berkunang-kunang. Rasanya, kualitas keasyikan dalam menikmati arak- arakan mendekati titik nol. Namun, demi memenuhi kewajiban, saya harus bertahan.

Keasyikan seorang anak mungkin mengalahkan rasa capeknya. Karena kasihan, dia saya pangku. Dengan harapan, ia bertambah enjoy dalam menyaksikan massa yang berseliweran hilir mudik, berteriak-teriak dengan motor. Saya tidak tahu di mana letak kesalahan saya karena berinisiatif memangkunya. Yang jelas beberapa menit kemudian, saya baru tahu ternyata anak saya telah teridur dengan pulas.

Mungkin dia bermimpi. Atau minimal saya berharap dia bermimpi. Karena, bermimpi itu penting. Bermimpi menjadi pahlawan, atau katakanlah seperti seorang pendekar, pemberantas kejahatan, ketidakbenaran, kemunafikan, dan sebagainya. Sambil dengan gagah berdiri pada sebuah motor, dan dengan jubah berterbangan di punggung, berwarna-warni, merah, kuning, hijau.  * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar