Sabtu, 21 April 2012

KAYAK ORANG KAMPUNG MIKIR NEGARA


Oleh Aprinus Salam

            Rapat DPR dalam menyikapi kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM per 1 April berjalan kampungan. Terlepas dari berbagai sebab mengapa rapat mulia dan terhormat (karena diikuti oleh orang-orang yang katanya mulia dan terhormat) itu berjalan tidak lucu dan tidak menyenangkan, yang pasti kita mendengar bersama beberapa orang DPR meneriakan kata “Kampungan”, “ Kayak orang kampung saja”, dan beberapa umpatan lain.
            Perlu dipermasalahkan mengapa ungkapan “kampungan” atau “kayak orang kampung saja” itu muncul dalam sebuah persidangan di pusat kota, justru ketika orang-orang terpandang yang seharusnya “terpelajar”, saling berteriak dan menuduh di antara mereka bahwa kerusuhan itu seperti kelakuan orang kampung atau kampungan. Apakah ungkapan tersebut dapat dilihat sebagai satu substansi persoalan, atau lebih karena faktor kebetulan yang bersifat emosional belaka.
            Pertama, perkataan bernada menghina tersebut menunjukan bahwa hanya orang kampung saja yang mungkin boleh dimaklumi jika menyelenggarakan forum resmi semacam rapat  dan bertindak tidak sopan, tidak terpelajar, tidak beradab. Orang-orang yang tidak kampung, katakanlah orang kota, tidak selayaknya berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu memalukan, tidak kota. Jadi, kota adalah pusat peradaban, pusat sopan santun.
Kita bisa mengujinya apakah pengakuan terhadap dikotomi tersebut masih bisa diterima. Paling tidak acuan referen konseptual yang mana yang bisa membuktikan bahwa orang kampung tidak lebih beradab dibanding orang kota. Atau, sedikit lebih akademis dari itu, ukuran etis dan standar apa yang dipakai dalam menetapkan peradaban sehingga kota disebut-sebut lebih beradab, lebih sopan, lebih etis daripada orang kampung. Apakah itu tidak semata-mata bahwa kota merupakan pusat kekuasaan yang menentukan segala aturan tata kehidupan. Seberapa jauh kota memberikan kontribusi terhadap kampung sehingga orang kampung perlu mengakui dikotomi tersebut.
Kedua, ungkapan seperti itu muncul dengan asumsi bahwa yang rusuh dan ricuh itu orang kampung. Orang kota kalau rusuh dan ricuh, itu namanya berprilaku kampung(an). Ungkapan seperti itu perlu mendapatkan klarifikasi,  karena kampung mana dan di mana yang dianggap sebagai referen ricuh dan rusuh. Atau seberapa tegas sih batasan antara sesuatu yang disebut kampung atau kota itu. Bagaimana kita menempatkan jika banyak kerusuhan antarkampung, tapi terjadi di kota besar seperti Jakarta.
Artinya, prilaku kampungan bukan mengacu pada lokasi, tetapi berubah menjadi penamaan/konsep tersendiri. Ini perlu dijelaskan karena jika bukan hal tersebut yang dimaksud, jelas perkataan “kayak orang kampung aja”, menghina orang-orang kampung. Apa hak orang kota menghina orang kampung, sebab orang kampung tidak pernah menghina orang kota.  Juga jangan sampai kericuhan dalam rapat Paripurna DPR itu terjadi dengan mengambinghitamkan “adanya orang kayak orang kampung”. Kalau tidak ada kayak orang kampung berarti tidak akan ada kerusuhan.
Ketiga, ungkapan itu muncul dari wacana atau idiom sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari memang ada ungkapan untuk menilai orang yang tidak sopan, tidak bermutu, seperti layaknya orang kampung. Ungkapan seperti itu bukan hanya muncul di perkotaan, tetapi juga di perkampungan itu sendiri, yakni ketika ada orang yang tinggal di kampung yang merasa dirinya lebih terpelajar, lebih kota, lebih bermutu, menilai warga kampung lain yang tidak bermutu. Di sini, istilah kampung hampir tidak berhubungan dengan arti kampung yang sesungguhnya. Arti kata itu lebih dimaksudkan sebagai perkataan penilaian tidak bermutu, tidak sopan, tidak beradab.
Jika itu yang terjadi, seharusnya tidak ada yang perlu digelisahkan. Banyak kata yang berubah-ubah arti atau maknanya tergantung konteks pemakaian kata tersebut diletakkan dalam wacana seperti apa. Akan tetapi, hal tersebut selayaknya justru menimbulkan kegelisahan yang lebih besar. Munculnya tuduhan kayak orang kampung itu mengindikasikan adanya pengakuan bahwa kericukan di DPR itu merupakan pengakuan internal bahwa banyak anggota DPR Indonesia yang tidak bermutu dan tidak tidak beradab. Kita bisa membayangkan ke mana negeri ini akan berjalan jika para elite-nya saja merupakan sekumpulan orang yang tidak bermutu, tidak sopan, dan tidak beradab.
* * *
Berdasarkan cerita di atas, kemungkinan perspektif lain adalah sebagai berikut. Hal penting yang perlu dipahami adalah munculnya istilah kayak. Kayak dalam kayak orang kampung itu mengandaikan bahwa sebetulnya yang rusuh itu bukan orang kampung sungguhan (ah yang benar?), tapi hanya prilakunya, tindakan dan cara berpikirnya saja yang kampungan. Dengan demikian, konotasi kampungan di sini lebih substantif daripada yang sesungguhnya terjadi.
Sangat mungkin dalam hal kericuhan dilihat lebih sebagai cara atau strategi, “dengan cara yang kampungan, berteriak dan kalau perlu berkelahi”, agar terlihat serius atau bersungguhnya-sungguh. Jadi, memang banyak interpretasi terhadap situasi tersebut. Ada yang mengatakan, bisa kita bayangkan bagaimana mereka bisa dipilih mengurus dan mengontrol jalannya kehidupan bernegara, jika mereka mengurus dirinya sendiri tidak bisa. Itu artinya banyak rakyat yang memilih mereka telah tertipu. Dulu terlihat manis dan bijak, tetapi setelah jadi anggota legislatif, terlihat belang aslinya.
Akan tetapi, ada pula yang mengatakan bahwa biarkan saja mereka ricuh, kalau perlu berkelahi sungguhan, pukul-pukulan hingga berdarah. Bukan saja agar mereka terlihat bersungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat, karena di luar pekerjaan/rapat seperti itu mereka hidup enak-enakan, banyak uang, dan terhormat. Anggap saja kericuhan yang sedikit memalukan itu cara mereka untuk membayar keseharian lainnya yang menyenangkan, dengan sejumlah fasilitas yang menggiurkan.
Yang penting dari munculnya berbagai interpretasi tersebut adalah adanya rasa ketidakpercayaan kepada anggota DPR kita. Barangkali ini masih bagian dari trauma panjang sejarah perpolitikan kita ketika para elite sama sekali tidak dapat dipercaya, ketika para elite lebih menjilat kepada penguasa daripada berpihak kepada rakyat. Trauma panjang itu saat ini menjadi paradigma atau bahkan “ideologi” rakyat dalam melihat kinerja para elite, khususnya kinerja legislatif, ekskutif, ataupun yudikatif.
* * *
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau ada teman atau saudara terlihat merenung, berpikir, kita akan mengatakan” Ah kamu, kayak mikir negara saja”. Dari peristiwa itu ada beberapa kemungkinan. Negara tidak usah dipikirkan, karena sudah ada yang memikirkan. Kenyataannya, repot juga kalau para pemikir negara kita kayak orang kampung seperti peristiwa 15-16 Maret yang lalu. Yang pasti, kualitas negara kita adalah seperti yang kita alami bersama seperti sekarang ini, menyedihkan.
Kemungkinan kedua, negara itu tidak perlu dipikirkan serius-serius amat. Anggaplah kita bisa dan boleh berpikir serius, apa sih yang bisa kita sumbangkan kepada negara yang terlanjur kacau balau ini. “Mbok dipikirkan setengah mati to, negara kita tidak akan maju-maju, tidak akan berubah, ya seperti begini-begini saja.” Jadi, tidak perlu memikirkan negara secara serius, santai sajalah.
Ada hal yang lebih mencemaskan daripada kenyataan di atas. Bahwa ditinjau dari banyak segi, bahwa berharap Indonesia bisa menjadi lebih baik hampir tidak ada. Anggota elite legislatif kayak orang kampung sehingga tidak mungkin bisa diharapkan. Orang kampung sungguhan jika mau mikirkan negara, juga percuma. Mikir serius, mikir santai, nasibnya tidak berubah.
Lantas, siapa saat ini yang kalau mikir dan ngurus negara (atau secara inheren termasuk rakyat di dalamnya), Indonesia akan menjadi lebih baik.  Para sarjana dari UI, UGM, ITB, atau IPB, atau lembaga-lembaga yang katanya independen? Jangan-jangan mereka malah berkolaborasi (atau berkonspirasi) dengan para kayak orang kampung, sehingga yang pasti harga BBM telah naik, sembako juga naik, yang lain-lain pasti naik. Hasilnya, rakyat semakin menderita. Begitulah.* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar