Oleh
Aprinus Salam
Rapat DPR dalam menyikapi kebijakan
pemerintah tentang kenaikan harga BBM per 1 April berjalan kampungan. Terlepas
dari berbagai sebab mengapa rapat mulia dan terhormat (karena diikuti oleh
orang-orang yang katanya mulia dan terhormat) itu berjalan tidak lucu dan tidak
menyenangkan, yang pasti kita mendengar bersama beberapa orang DPR meneriakan
kata “Kampungan”, “ Kayak orang kampung saja”, dan beberapa umpatan lain.
Perlu dipermasalahkan mengapa ungkapan
“kampungan” atau “kayak orang kampung saja” itu muncul dalam sebuah persidangan
di pusat kota, justru ketika orang-orang terpandang yang seharusnya
“terpelajar”, saling berteriak dan menuduh di antara mereka bahwa kerusuhan itu
seperti kelakuan orang kampung atau kampungan. Apakah ungkapan tersebut dapat
dilihat sebagai satu substansi persoalan, atau lebih karena faktor kebetulan yang
bersifat emosional belaka.
Pertama, perkataan bernada menghina
tersebut menunjukan bahwa hanya orang kampung saja yang mungkin boleh dimaklumi
jika menyelenggarakan forum resmi semacam rapat
dan bertindak tidak sopan, tidak terpelajar, tidak beradab. Orang-orang
yang tidak kampung, katakanlah orang kota,
tidak selayaknya berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu memalukan, tidak kota. Jadi, kota adalah pusat
peradaban, pusat sopan santun.
Kita bisa mengujinya apakah pengakuan terhadap dikotomi tersebut masih
bisa diterima. Paling tidak acuan referen konseptual yang mana yang bisa
membuktikan bahwa orang kampung tidak lebih beradab dibanding orang kota. Atau, sedikit lebih
akademis dari itu, ukuran etis dan standar apa yang dipakai dalam menetapkan
peradaban sehingga kota
disebut-sebut lebih beradab, lebih sopan, lebih etis daripada orang kampung.
Apakah itu tidak semata-mata bahwa kota
merupakan pusat kekuasaan yang menentukan segala aturan tata kehidupan.
Seberapa jauh kota
memberikan kontribusi terhadap kampung sehingga orang kampung perlu mengakui
dikotomi tersebut.
Kedua, ungkapan seperti itu muncul dengan asumsi bahwa yang rusuh dan
ricuh itu orang kampung. Orang kota
kalau rusuh dan ricuh, itu namanya berprilaku kampung(an). Ungkapan seperti itu
perlu mendapatkan klarifikasi, karena
kampung mana dan di mana yang dianggap sebagai referen ricuh dan rusuh. Atau
seberapa tegas sih batasan antara
sesuatu yang disebut kampung atau kota
itu. Bagaimana kita menempatkan jika banyak kerusuhan antarkampung, tapi
terjadi di kota besar seperti Jakarta.
Artinya, prilaku kampungan bukan mengacu pada lokasi, tetapi berubah
menjadi penamaan/konsep tersendiri. Ini perlu dijelaskan karena jika bukan hal
tersebut yang dimaksud, jelas perkataan “kayak orang kampung aja”, menghina
orang-orang kampung. Apa hak orang kota menghina
orang kampung, sebab orang kampung tidak pernah menghina orang kota. Juga jangan sampai kericuhan dalam rapat
Paripurna DPR itu terjadi dengan mengambinghitamkan “adanya orang kayak orang kampung”. Kalau tidak ada kayak orang kampung berarti tidak akan
ada kerusuhan.
Ketiga, ungkapan itu muncul dari wacana atau idiom sehari-hari. Dalam
kehidupan sehari-hari memang ada ungkapan untuk menilai orang yang tidak sopan,
tidak bermutu, seperti layaknya orang kampung. Ungkapan seperti itu bukan hanya
muncul di perkotaan, tetapi juga di perkampungan itu sendiri, yakni ketika ada
orang yang tinggal di kampung yang merasa dirinya lebih terpelajar, lebih kota, lebih bermutu,
menilai warga kampung lain yang tidak bermutu. Di sini, istilah kampung hampir
tidak berhubungan dengan arti kampung yang sesungguhnya. Arti kata itu lebih
dimaksudkan sebagai perkataan penilaian tidak bermutu, tidak sopan, tidak
beradab.
Jika itu yang terjadi, seharusnya tidak ada yang perlu digelisahkan.
Banyak kata yang berubah-ubah arti atau maknanya tergantung konteks pemakaian
kata tersebut diletakkan dalam wacana seperti apa. Akan tetapi, hal tersebut selayaknya
justru menimbulkan kegelisahan yang lebih besar. Munculnya tuduhan kayak orang kampung itu mengindikasikan
adanya pengakuan bahwa kericukan di DPR itu merupakan pengakuan internal bahwa
banyak anggota DPR Indonesia yang tidak bermutu dan tidak tidak beradab. Kita bisa
membayangkan ke mana negeri ini akan berjalan jika para elite-nya saja
merupakan sekumpulan orang yang tidak bermutu, tidak sopan, dan tidak beradab.
* * *
Berdasarkan cerita di atas, kemungkinan perspektif lain adalah sebagai
berikut. Hal penting yang perlu dipahami adalah munculnya istilah kayak. Kayak dalam kayak orang
kampung itu mengandaikan bahwa sebetulnya yang rusuh itu bukan orang kampung sungguhan
(ah yang benar?), tapi hanya prilakunya, tindakan dan cara berpikirnya saja
yang kampungan. Dengan demikian, konotasi kampungan di sini lebih substantif
daripada yang sesungguhnya terjadi.
Sangat mungkin dalam hal kericuhan dilihat lebih sebagai cara atau
strategi, “dengan cara yang kampungan, berteriak dan kalau perlu berkelahi”,
agar terlihat serius atau bersungguhnya-sungguh. Jadi, memang banyak
interpretasi terhadap situasi tersebut. Ada
yang mengatakan, bisa kita bayangkan bagaimana mereka bisa dipilih mengurus dan
mengontrol jalannya kehidupan bernegara, jika mereka mengurus dirinya sendiri
tidak bisa. Itu artinya banyak rakyat yang memilih mereka telah tertipu. Dulu
terlihat manis dan bijak, tetapi setelah jadi anggota legislatif, terlihat
belang aslinya.
Akan tetapi, ada pula yang mengatakan bahwa biarkan saja mereka ricuh,
kalau perlu berkelahi sungguhan, pukul-pukulan hingga berdarah. Bukan saja agar
mereka terlihat bersungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat, karena di luar
pekerjaan/rapat seperti itu mereka hidup enak-enakan, banyak uang, dan
terhormat. Anggap saja kericuhan yang sedikit memalukan itu cara mereka untuk
membayar keseharian lainnya yang menyenangkan, dengan sejumlah fasilitas yang
menggiurkan.
Yang penting dari munculnya berbagai interpretasi tersebut adalah adanya
rasa ketidakpercayaan kepada anggota DPR kita. Barangkali ini masih bagian dari
trauma panjang sejarah perpolitikan kita ketika para elite sama sekali tidak
dapat dipercaya, ketika para elite lebih menjilat kepada penguasa daripada
berpihak kepada rakyat. Trauma panjang itu saat ini menjadi paradigma atau
bahkan “ideologi” rakyat dalam melihat kinerja para elite, khususnya kinerja
legislatif, ekskutif, ataupun yudikatif.
* * *
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau ada teman atau saudara terlihat merenung,
berpikir, kita akan mengatakan” Ah kamu, kayak
mikir negara saja”. Dari peristiwa
itu ada beberapa kemungkinan. Negara tidak usah dipikirkan, karena sudah ada
yang memikirkan. Kenyataannya, repot juga kalau para pemikir negara kita kayak orang kampung seperti peristiwa
15-16 Maret yang lalu. Yang pasti, kualitas negara kita adalah seperti yang kita
alami bersama seperti sekarang ini, menyedihkan.
Kemungkinan kedua, negara itu tidak perlu dipikirkan serius-serius amat.
Anggaplah kita bisa dan boleh berpikir serius, apa sih yang bisa kita
sumbangkan kepada negara yang terlanjur kacau balau ini. “Mbok dipikirkan setengah mati to,
negara kita tidak akan maju-maju, tidak akan berubah, ya seperti begini-begini
saja.” Jadi, tidak perlu memikirkan negara secara serius, santai sajalah.
Ada hal
yang lebih mencemaskan daripada kenyataan di atas. Bahwa ditinjau dari banyak
segi, bahwa berharap Indonesia
bisa menjadi lebih baik hampir tidak ada. Anggota elite legislatif kayak orang kampung sehingga tidak
mungkin bisa diharapkan. Orang kampung sungguhan jika mau mikirkan negara, juga percuma. Mikir
serius, mikir santai, nasibnya tidak
berubah.
Lantas, siapa saat ini yang kalau mikir
dan ngurus negara (atau secara
inheren termasuk rakyat di dalamnya), Indonesia akan menjadi lebih
baik. Para
sarjana dari UI, UGM, ITB, atau IPB, atau lembaga-lembaga yang katanya
independen? Jangan-jangan mereka malah berkolaborasi (atau berkonspirasi)
dengan para kayak orang kampung,
sehingga yang pasti harga BBM telah naik, sembako juga naik, yang lain-lain
pasti naik. Hasilnya, rakyat semakin menderita. Begitulah.* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar