Minggu, 22 April 2012

POLITIK PANJAT PINANG


Oleh Aprinus Salam

Keadilan, kemakmuran, dan kesejahtaraan selayaknya ditempatkan sebagai hadiah yang harus diperjuangkan, bukan sesuatu yang turun ke bumi begitu saja. Untuk mendapatkannya kita harus berjuang, iklas bekerja keras, kompak, dan saling mendukung. Untuk mendapatkan hadiah itu kita perlu melakukan strategi politik panjat pinang. Apa itu politik panjat pinang?

Di antara sekian banyak jenis olahraga atau permainan, barangkali permainan (olahraga) panjat pinang lah yang paling representatif untuk dibangun sebagai satu sikap budaya. Di dalam berbagai olahraga atau permainan, terdapat dua substansi, yakni saling berhadapan untuk saling mengalahkan, atau berlomba untuk saling menang.

Memang di berbagai olahraga dan permainan tersebut, terutama permaian tim (bersama) kita perlu kompak, perlu kerja keras untuk mendapatkan keahlian, harus tertib terhadap peraturan. Kalau tidak tertib akan dikenai sangsi. Akan tetapi, substansinya adalah bagaimana kita mengalahkan lawan, bahkan kadang dalam berbagai cara. Permainan juga demikian, walaupun untuk mendapatkan kegembiraan atau kesenangan, tetapi substansinya adalah mengalahkan lawan main.

Hal itu berbeda dengan olahraga atau permainan panjat pinang. Permainan panjat pinang bukan untuk mengalahkan lawan, bukan untuk menjatuhkan musuh, tetapi justru suatu permainan bersama yang membutuhkan kekompakkan untuk mendapatkan hadiah bersama. Hadiah, yang pada umumnya bernilai sama, itu pun nanti akan dibagi secara adil kepada seluruh peserta yang terlibat.

Politik panjat pinang adalah politik kompak dan saling mendukung, politik proporsional dan tahu diri, politik tidak untuk mengalahkan, politik untuk bersama-sama menikmati hasil kerja keras berupa hadiah yang dijanjikan.

Saling Mendukung
Seperti telah disinggung, hal menarik dari permainan panjat pinang adalah setiap peserta harus siap saling mendukung. Ini syarat mutlak permainan. Jika dalam satu permainan dibatasi lima atau enam orang (mungkin sampai tujuh orang), maka agar berhasil menraih hadiah, setiap peserta harus kompak saling mendukung. Jika tidak saling mendukung, maka hadiah tidak akan mungkin didapatkan.

Konsep saling mendukung adalah bahwa setiap peserta harus bersedia mana yang menjadi fondasi, mana yang menjadi medium, dan mana yang diposisikan di atas. Jika pohon panjat pinang sekitar 5 hingga 6 meter, maka dalam membangun kerja sama itu, harus ada yang rela dijadikan tumpuan, ada yang bersedia dijadikan pegangan (tangga), dan bersedia memberi jalan kepada ”pahlawan” yang berposisi paling atas untuk merebut hadiah. Hadiah milik bersama.

Jika tidak kompak dan saling mendukung, dipastikan hadiah yang dicita-citakan tidak dapat direalisasikan. Saling ikhlas adalah kunci untuk membangun kekuatan agar peserta dapat mendirikan bangunan dirinya agar menjangkau hadiah. Sebagian besar masyarakat Indonesia sering melupakan filosofi panjat pinang ini. Mereka melihat kehidupan sebagai cara untuk mengalahkan dan merebut keuntungan pribadi.

Proporsional dan Tahu Diri
Dalam permainan panjat pinang, setiap peserta harus proporsional dan tahu diri dalam melihat dan memposisikan dirinya. Mereka yang berbadan lebih besar jangan memaksa diri untuk berdiri di posisi paling atas, dan sebaliknya. Jika para pemain panjat pinang tidak mampu secara proporsional dalam melihat dirinya, dapat dipastikan hadiah tidak akan sukses didapatkan.

Dengan demikian, dalam permainan panjat pinang harus memiliki strategi jika ingin mendapatkan hadiah yang diharapkan. Bagaimana membangun fondasi yang dibentengi oleh mereka yang kuat dan tahan injakan, bagaimana berposisi sebagai mediator tiang perantara, dan bagaimana orang yang diposisikan sebagai yang di atas tidak mengklaim hadiah sebagai hasil perjuangannya sendiri.

Di samping itu, permainan panjat pinang juga harus siap kotor dan jatuh. Kita tahu bahwa biasanya pohon panjat pinang dilumuri gemuk (olie atau pelumas). Hal ini juga menyimbolkan bahwa jalan menuju keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan itu bukan jalan yang mudah, melainkan licin. Itulah sebabnya, jika ingin mepraktikkan politik panjat pinang harus bersedia kotor dan terpeleset jatuh ke bawah. Padahal, seolah-olah hadiah hampir ada di tangan.

Hal menarik, hampir tidak ada aturan khusus dalam permainan panjat pinang, tidak ada juri, dan hampir tidak ada perkelahian. Semua berjalan dengan tertib. Begitu terlibat dengan permainan panjat pinang, maka kekompakan perlu langsung terbangun,  pembagian tugas dan posisi, dan semua dilaksanakan dengan perasaan gembira dan senang karena harapan mendapatkan hadiah.

Dijadikan Sikap Budaya
Persoalannya adalah bahwa politik kita lebih menerapkan permainan sepak bola. Sepak bola, kita tahu, secara fisik langsung berhadapan, tujuan kemenangan atau mengalahkan lawan hal yang utama, gol kemenangan menyebabkan perlakuan terhadap pemain menjadi berbeda. Ada juri yang kadang-kadang terlibat ”jadi pemain” demi memenangkan satu tim tertentu. Ada peraturan yang sering dilanggar, dan sering muncul perkelahian yang konyol.

Alangkah indahnya jika dalam kehidupan sehari-hari filosofi panjat pinang itu dapat dijadikan pegangan dalam melakukan berbagai praktik kehidupan. Apa lagi dalam melakukan praktik politik yang sesungguhnya. Mereka yang terlibat dalam praktik politik akan saling mendukung, tahu diri secara proporsional dalam menempatkan posisi-posisi, demi hadiah keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran yang dicita-citakan bersama.

Artinya, bahwa sebetulnya budaya kita sudah menyediakan sebuah model permainan yang indah, menyenangkan, dan sekaligus menggairahkan. Permainan panjat pinang juga boleh dikata sesuatu yang khas dalam kebudayaan kita. Karena  permainan ini hampir tidak ditemukan di negara lain. Permainan ini layak dijadikan permainan nasional dan sekaligus dijadikan filosofi dalam melakukan berbagai praktik kehidupan. * * *

Aprinus Salam, dosen FIB UGM, peneliti kebudayaan.


PEMILU DALAM PERSPEKTIF SEJARAH-BUDAYA


Oleh Aprinus Salam

Secara historis, masyarakat Indonesia tidak memiliki tradisi yang cukup berarti dalam memilih pimpinan secara langsung. Memang, dalam skala yang sangat terbatas, masyarakat Indonesia punya sedikit pengalaman dalam memilih kades. Akan tetapi, dalam budaya-budaya lokal kita itu, karena ada faktor-faktor kolusi, nepotisme, sistem kekerabatan, budaya ewuh-pekewuh, bahkan politik uang, maka proses pemilihan pimpinan lokal itu sangat sering berjalan tidak demokratis.
Kita tahu, dulu, dalam sejarah dan tradisinya, pimpinan itu memang tidak dipilih. Proses untuk menjadi pemimpin, penguasa, tidak jarang didahului oleh peperangan-peperangan perebutan kekuasaan. Siapa yang kuat, yang bersiasat, bahkan yang “licik” dan “tega”, maka dialah yang akan berkuasa. Kemudian, puncak pimpinan kekuasaan itu diturunkan secara genetik.
Kemudian, dalam sejarah Indonesia modern (pasca kemerdekaan), pemilu yang dianggap demokratis terjadi tahun 1955, yakni pemilu untuk memilih anggota legislatif. Dan kelak anggota legislatif itu memilih presiden. Secara niscaya, pemilu tahun itu juga tidak pemilu memilih pempinan secara langsung. Terlepas dari pemilu tersebut dianggap demokratis, posisi Soekarno yang diusung partai besar seperti PNI, tak pelak telah memastikan dirinya untuk menjadi presiden.
Tradisi pemilu itu diteruskan pada masa Orde Baru, bahkan dalam kondisi yang semuanya serba diatur. Hampir semua proses pemilu direkayasa sedemikian rupa sehingga dalam praktiknya masyarakat Indonesia tidak memiliki pengalaman apapun dalam memilih pimpinan secara langsung. Untuk pemilu di atas kades, seperti pemilihan bupati, gubernur, dan presiden, juga pemilihan langsung anggota legislatif, praktis masyarakat Indonesia baru berpengalaman lima tahun terakhir ini.
Persoalannya adalah apa dampak dan implikasi-implikasi ketika masyarakat Indonesia saat ini harus memilih pimpinannya secara langsug, baik pemilihan legislatif, dan terutama untuk posisi eksekutif. Persoalan itu akan dilihat, terutama, dalam mekanisme dan proses-proses kebudayaan kita. Kebudayaan yang dimaksud di sini lebih dalam konteks sesuatu yang dianggap dominan.
* * *
Paling tidak terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan langsung itu, yakni (1) kondisi-kondisi kebudayaan, (2) masyarakat (pemilih), (3) calon pemimpinnya, dan (4) peraturan dan mekanisme pemilunya. Keempat hal ini tentu tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi saling terintegrasi antara satu dengan yang lain.
Kondisi-kondisi kebudayaan. Seperti telah disinggung, kita tidak memiliki kecanggihan apapun dalam memilih pimpinan secara langsung. Kebudayaan kita tidak mengajarkan mekanisme dan cara-cara bagaimana memilih pimpinan. Memang, tentu mekanisme itu bisa dipelajari. Dalam kondisi itu, kelak hal yang akan terjadi adalah bahwa masyarakat, mau tidak mau, secara langsung hanya dituntun, seperti orang buta, dalam memilih pimpinannya. Hal itu berjalan paralel dengan kondisi kedua berikut.
Kondisi masyarakat. Walaupun proses pembebasan buta aksara dan melek baca secara kuantitatif Indonesia merupakan salah satu negara yang paling berhasil di dunia, tetapi itu tidak berjalan paralel dengan peningkatan melek politik. Kondisi itu selain karena konsktruksi kebudayaan, secara historis politik di Indonesia memberikan citra yang pahit dalam perjalanannya.
Karena citra yang pahit itu, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia memberikan perlakuan yang berbeda-beda terhadap realitas politik. Sebagian besar cuek dan tidak mau tahu, sebagian yang lain melihat dari sisi-sisi negatif. Sebagian kecil (elite) memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan. Akibatnya, politik pemilu berjalan rancu, tumpang tindih, dan penuh dengan eksperimentasi yang tak kunjung mendapatkan bentuknya.
Situasi calon pemimpin. Berbeda dengan kedua kondisi di atas, orang Indonesia mendapat pengalaman historis yang cukup berarti bagaimana merebut posisi pimpinan kekuasaan. Itulah sebabnya, calon pimpinan (capres dan cawapres) di Indonesia demikian banyak.
Dalam prosesnya, sejarah mengajarkan bagaimana merebut posisi pimpinan kekuasaan itu dalam berbagai cara. Misalnya, bagaimana merebut posisi pimpinan secara tidak fair, mengandalkan modal kapital (uang) dan modal sosial (popularitas) secara tidak proporsional. Calon pimpinan juga melakukan kasak-kusuk (kolusi) dengan nuansa permusuhan dan kebcncian. Sejarah juga mengajarkan jika perlu melakukan kampanye hitam, pembunuhan karakter (dulu melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik), dan sebagainya.
Belakangan, terdapat lembaga-lembaga (pemerintah dan nonpemerintah) yang mencoba menegakkan proses pemilu secara demokratis. Akan tetapi, kita pun tahu bahwa istitusionalisasi politik belum berhasil di negeri kita ini. Masih begitu banyak perluang dan celah sehingga pelembagaan pemilu itu masih bisa digadaikan, mungkin karena kekuatan uang, mungkin karena kekuatan pengaruh politik lainnya. Hal ini berjalan paralel dengan lemahnya penegakkan hukum di Indonesia.
Peraturan dan mekanisme pemilu. Pengaturan dan mekanisme pemilu untuk pilihan legislatif dan eksekutif secara langsung memang sedang digodog terus menerus. Karena kita memang belum cukup berpengalaman, maka hingga hari ini proses peraturan dan mekanisme masih dalam perdebatan.
Hal menggelikan adalah bahwa perdebatan terjadi tidak untuk mempertimbangkan kemapanan peraturan dan mekanisme itu sendiri demi kemapan pelembagaan bernegara jangka panjang. Akan tetapi, perdebatan lebih mempersoalkan apakah peraturan dan mekanisme itu merugikan atau menguntungkan partai, atau calon pimpinan. Itulah sebabnya, perdebatan dalam wacana tersebut menyebabkan peraturan dan mekanisme pemilu selalu berubah-ubah, tergantung kelak siapa yang berkuasa dan ingin mempertahankan kekuasannya.
Implikasinya. Dalam kondisi-kondisi di atas, maka dapat dipastikan politik pemilu dan kemunculan calon pemimpin dan pemimpin kita bukan berdasarkan suatu proses pilihan sadar rakyat. Rakyat tidak lebih menjadi bagian dari rekayasa politik yang berjalan dengan tekanan, kepalsuan, dan tipu-muslihat.
Memang, seperti terbukti pada tahun 2004, pemilihan legislatif dan presiden berjalan dengan lancar. Akan tetapi, siapapun presiden dan wapres yang terpilih, maka secara kultural ia tidak akan mendapatkan dukungan dengan kesadaran budaya berpolitik masyarakatnya. Dalam perjalanannya, ia akan selalu mendapatkan ancaman, atau akan banyak pihak-pihak yang secara kultural memusuhinya.
Begitulah politik kekuasaan kita berjalan, dari waktu ke waktu. Jika tidak ada kondisi kultural yang memaksa dengan cetak biru yang mapan, maka secara kultural politik pemilu kita belum menjanjikan apa-apa. * * *

Aprinus Salam, staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Sabtu, 21 April 2012

CATATAN DARI PINGGIR JALAN (II)


Oleh Aprinus Salam

kalaulah hidup adalah perjudian
jangan pikir arti kalah dan menang
kiti butuh bertahan hingga malam larut
dan fajar mencapai Tepian tanpa luput
("Syair Perjudian", Suminto. A. Sayuti dalam Syair-Syair Cinta, 1990)

Hari-hari musim kampanye, nonton pawai kendaraan bermotor bagi saya seperti memenuhi kewajiban. Karena punya anak balita yang nakal, maka untuk menenangkannya saya menggertak-sayang bahwa jika masih tetap nakal tidak diajak nonton kampanye. Jika tidak mau makan, tidak dibawa melihat kampanye. Jika tidak mau tidur, maka kampanyenya dibatalkan.

Tidak tahu pasti, di mana letak kekuatan kata-kata kampanye itu, sehingga sang anak relatif patuh dibandingkan hari-hari sebelumnya. Mungkin di matanya kampanye itu adalah sesuatu yang menyenangkan, beramai-ramai berkendaraan motor, aneh, mengherankan, bendera-bendera yang berkibaran, sesuatu yang sangat mencuri perhatian. (Jangan lupa, hampir setiap balita paling suka diajak berjalan- jalan dengan kendaraan).

Setiap usai menunaikan perintah, begitu mendengar suara raungan motor, maka dengan tegas ia menuntut haknya untuk nonton konvoi motor itu. Nah, sebagai bapak yang baik, saya harus memenuhi janji saya. Walaupun saya juga tidak perlu merasa munafik, bahwa jangan dikira nonton kampanye dari pingir jalan itu kalah asyik dibanding yang ikut kampanye. (Jangan dikira saya tidak suka nonton kampanye).

Saking seringnya, secara tidak sengaja kami merasa di antara sesama penonton kampanye teman sekampung, seperti membentuk satu komunitas tersendiri. Ciri komunitas yang kami bentuk antara lain tidak fanatis terhadap satu OPP tertentu, dengan cara berpartisipasi penuh terhadap setiap OPP dengan membawa kain berwarna atau bendera sesuai dengan yang sedang berkampanye. Sembari tentu saja selalu mengacungkan jari, kalau tidak ingin cari perkara.

Dapat diperkirakan, komunitas seperti itu juga terbentuk bagi pengendara kendaraan umum dan pribadi. Mau tidak mau, pada kampanye untuk OPP tertentu mereka terpaksa atau tidak memberi "kode" khusus apakah berupa warna, acungan jari, agar dianggap simpatisan, orang dalam, atau komunitas sendiri . Dengan begitu, secara langsung atau tidak "ketakutan" terhadap arak-arakan, secara kontemporer memiliki kekuatan memaksa untuk menetralkan fanatisme bagi komunitas bayangan itu, meminjam terminologi B. Anderson (1991), siapapun ia jika secara kebetulan berdiri di luar komunitas inti peserta kampanye.

* * *
So, kata saya memulai ceramah kepada sang anak. Coba kamu hitung berapa biaya yang harus dibuang untuk kegiatan drama politik seperti yang kamu lihat itu. Berapa ratus ton bensin, berapa ribu yard kain, berapa korban nyawa dan luka-luka, biaya kerusakan kendaraan dan bangunan (fisik), cat, waktu produktif yang harus terbuang, perkelahian dan permusuhan, dan lain sebagainya. Belum dampak polusi yang disebabkannya, apakah kepada kesehatan manusia dan kesehatan ekologis, kesehatan alam semesta.

Tidak jarang banyak orang berkata politik itu mahal, mahal sekali. Jangankan cuma sekadar biaya material, nyawa puluhan ribu orang saja bisa berterbangan percuma. Dalam sejarah peradaban manusia, politik (ambisi terhadap kekuasaan) memang paling banyak memakan korban manusia. Jadi, jangan salahkan jika hingga hari ini begitu banyak orang yang masih memiliki persepsi bahwa politik itu kejam, kotor, tak punya hati nurani. Karena, tampaknya begitulah.

Oleh karena itu, engkau anakku, yang rajin dan bijaklah belajar. Hingga pada tataran tertentu engkau memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai berkaitan dengan politik, khususnya. Politik apa pun. Karena, jika engkau tidak waspada terhadapnya, bukan saja engkau akan tertipu dan terpedaya, jangan-jangan engkau akan terbunuh olehnya.

Namun, dalam politik persoalannya bukan soal mahal atau tidak, boros atau tidak. Tapi seberapa jauh memberi makna yang segnifikan bagi proses pemanusiaan yang dapat dipertanggungjawabkan, beradab, agar pencapaian kualitas kemanusiaan kita tidak semakin merosot seperti akhir-akhir ini kita amat mengkhawatirkannya. Bayangkan, hanya gara-gara simbolisasi jari saja, bisa terjadi pembantaian, pertumpahan darah.

Untuk sementara pembicaraan terhenti. Raungan suara motor-motor membuat saya agak ragu apakah anak saya dapat mendengar suara saya yang sudah setengah berteriak. Tak lama kemudian, saya lanjutkan. Berkampanye itu nak, tidak lebih seperti orang yang sedang asyik berjudi. Kamu tahu, di mana letak asyiknya bermain judi. Letak keasyikannya adalah proses berharap bahwa untuk taruhan berikutnya, kitalah yang bakal memenangkannya. Jadi lebih pada proses berharapnya. Soal apakah kemudian kita kalah atau menang, itu persoalan lain.

Ya, tentu saja tidak sama persis. Kalau bermain judi, bermain kartu remi, sam gong, kiu-kiu, misalnya, hampir boleh dikata kita tidak tahu persis siapa yang bakal memenangkan pertaruhan. Masa depan adalah misteri. Prinsip itulah yang barangkali membedakannya. Dalam kampanye, tepatnya Pemilu di Indonesia, pengetahuan siapa yang bakal memang dan kalah, tampaknya seperti menjadi rahasia umum. (Paling tidak hingga Pemilu 1997).

Tidak perlu merasa bersalah, tentu saja hampir semua orang berharap dialah yang bakal memenangkan perjudian. Untuk itu, ada beberapa hal yang saling bergantung, nasib baik, keahlian, dan jenis/peraturan permainan. Hal tersebut masih perlu ditambah dengan keberanian melakukan "keterampilan" kasak-kusuk, dengan melakukan manuver-manuver tertentu agar pertarungan sedapat mungkin dapat dimenangkan.

Tidak perlu bertanya apakah dalam politik cara memenangkan perjudian, soal fair play, sportivitas, sangat dijunjung tinggi. Pertanyaan itu hanya menunjukkan bahwa kita masih infantil, lugu, bahkan tak tahu diri. Kiat, taktik, strategi, muslihat, trik-trik, metode,  merupakan anak kandung yang harus dimanfaatkan dengan baik ketika orang harus berpolitik. Kalau ia tak memahami hal itu, jangan coba-coba terjun ke dalam misteri masa datang.

Kembali saya terhenti untuk tersenyum sejenak. Seorang ibu yang mungkin telah berumur enam puluh tahun, yang hampir setiap sore kami bertemu dengannya, selalu punya cara yang khas ketika merespon para kampanyewan dan kampanyewati. Sambil mengacungkan jarinya, ia menekuk-nekukan kakinya, berulang kali, dengan cara yang sama terus menerus. Suatu gerakan yang dalam pandangan saya menjadi sangat sakral.

Terbayang di kapala saya, apa yang ia bayangkan dalam benaknya yang telah banyak makan asam garam itu. Apakah ia sungguh bergembira? Apakah ia tidak sedang mentertawakan arak-arakan itu? Apakah ia jenuh dengan kehidupan sehari- harinya, sehingga kampanye menjadi hiburan alternatif. Kalau itu yang terjadi, perlu diusulkan kepada pemerintah agar kampanye pemilu sebaiknya dilangsungkan sekali setahun. Atau jangan-jangan sesungguhnya ia hanya ingin menyaksikan cucunya yang saya tahu setiap ada kampanye ikut turun ke jalan.
Dan apa pula yang dipikirkan oleh anak saya? Apakah ia juga jenuh dengan kehidupan sehari-harinya sehingga perlu hiburan alternatif?

* * *
Saya melihat ke jam tangan. Sudah hampir dua setengah jam kami duduk pada sebuah tembok pagar di pinggir jalan itu. Sudah untuk yang ketiga kalinya pula saya bertanya kepada anak apakah sudah capek atau ngantuk dan perlu pulang. Selalu saja dijawabnya belum. Padahal punggung saya seperti hampir patah. Dan mata pun seperti berkunang-kunang. Rasanya, kualitas keasyikan dalam menikmati arak- arakan mendekati titik nol. Namun, demi memenuhi kewajiban, saya harus bertahan.

Keasyikan seorang anak mungkin mengalahkan rasa capeknya. Karena kasihan, dia saya pangku. Dengan harapan, ia bertambah enjoy dalam menyaksikan massa yang berseliweran hilir mudik, berteriak-teriak dengan motor. Saya tidak tahu di mana letak kesalahan saya karena berinisiatif memangkunya. Yang jelas beberapa menit kemudian, saya baru tahu ternyata anak saya telah teridur dengan pulas.

Mungkin dia bermimpi. Atau minimal saya berharap dia bermimpi. Karena, bermimpi itu penting. Bermimpi menjadi pahlawan, atau katakanlah seperti seorang pendekar, pemberantas kejahatan, ketidakbenaran, kemunafikan, dan sebagainya. Sambil dengan gagah berdiri pada sebuah motor, dan dengan jubah berterbangan di punggung, berwarna-warni, merah, kuning, hijau.  * * *

CATATAN DARI PINGGIR JALAN (I)


Oleh Aprinus Salam

"Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku."
(Goenawan Mohammad, "Tentang Seorang Yang Terbunuh
di Sekitar Hari Pemilihan Umum",
dalam Asmaradana Pilihan Sajak 1961-1991, Jakarta, 1992.


Maka dapat dipastikan, jika musim kampanye tiba, hampir sebagian besar orang Indonesia berbicara, membahas, menyaksikan, sesuatu yang bernama kampanye. Dari anak-anak hingga nenek-nenek, dari gadis yang malu-malu kucing hingga pemuda yang berandalan, dari pemulung hingga pilot, dari ketua RT hingga presiden, semuanya berurusan dengan kampanye. Jangan tanya, apakah Tuhan tidak tahu menahu urusan kampanye di Indonesia.

Akan tetapi, ini bukan persoalan kampanye an sich. Sudah begitu banyak yang membahas persoalan kampanye, baik di media massa, pada berbagai seminar, dalam berbagai obrolan, dan sebagainya. Ini hanya semacam catatan kecil dari dunia luar kampanye 1997. Catatan tercecer dari seorang penonton di pinggir jalan, sambil menggendong atau memangku anaknya. Tentu saja sambil mengajarkan dengan sabar kepada sang anak yang balita itu, jika warna ini bagaimana mengacungkan jari, jika warna itu bagaimana pula jari-jari harus diacungkan. Karena jika keliru, tidak peduli apakah dia balita berumur dua tahun, kakek-kakek yang hampir sakratul maut, wanita hamil, kepalanya bisa bengkak bahkan bocor.

* * *
Yang pasti, pada akhirnya saya dipaksa untuk tidak begitu peduli apakah anak saya itu mengerti atau tidak dengan penjelasan saya, berkaitan dengan arak-arakan massa, kibaran warna-warna tertentu, acungan jari, suara motor dan polusi, orang- orang yang terkesan beringas dan heroik. Saya katakan pula bahwa bisa jadi arak- arakan massa itu hanya untuk senang-senang belaka, upaya memanipulasi kesuntukan, keresahan, kepengapan, ketakutan, yang secara niscaya dihadapi sehari-hari bangsa Indonesia.

Sambil membetulkan jari-jarinya yang mungil, saya terus memberi penjelasan. Bahwa kita, bangsa Indonesia, hari-hari ini sedang menghadapi suatu peristiwa yang "Insya Allah" terjadi lima tahun sekali, yakni Pemilu, suatu peristiwa yang, katanya, biasa disebut sebagai pesta demokrasi.

Sekali lagi, walaupun saya tidak peduli apakah anak saya mengerti atau tidak, tetapi dalam banyak hal saya tetap berniat baik dengan menyensor beberapa hal. Khawatir juga saya jangan-jangan dia mengerti. Misalnya, saya tidak meneruskan apa itu pesta demokrasi. Siapa saja yang berpesta, apakah mereka yang ramai-ramai itu memang juga sedang berpesta. Apakah istilah pesta demokrasi bukan konsep yang berlebihan.

Apakah tidak mungkin istilah pesta lebih dimaksudkan upaya rakayasa atas kebodohan, ketidaktahuan, irrasionalitas, massa mengambang untuk tujuan politik tertentu. Atau adakah di dalamnya terjadinya semacam dialektika bahwa masyarakat mengambang melihat pesta demokrasi sebagai kesempatan untuk memuntahkan segala kemualan yang bertahun-tahun menyesakkan dada.  

Tapi baiklah, the show must go on. Tidak ada yang perlu disesali, apa lagi ditangisi. Bagaimanapun, kampanye, atau tepatnya katakanlah Pemilu, adalah peristiwa teramat-amat penting yang menentukan jalannya bangsa dan negara. Karena Pemilu kadang diandaikan sebagai tolok ukur utama bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kehidupan politik, sehingga jika itu tidak terjadi masyarakat sedunia akan meragukan apakah bangsa Indonesia memang layak dipercaya sebagai sebuah bangsa dan negara yang memiliki kemandirian mengurus dirinya sendiri.

* * *
Kembali saya jelaskan kepada anak saya. Engkau boleh percaya boleh tidak jika segala bentuk kampanye, dari yang monologis hingga dialogis dengan segala wacana dan bentuknya itu, merupakan pendidikan politik. Tapi engkau boleh tidak percaya jika segala aktivitas yang berkaitan dengan Pemilu merupakan penyangga utama bagi beban pendidikan tersebut. Pedidikan politik tidak bisa dibebankan pada satu peristiwa belaka. Yang namanya pendidikan, pendidikan apapun namanya, adalah proses berkelanjutan sedini mungkin, dan sepanjang hidup.

Namun begitu, karena terlanjur salah kaprah, atau memang dengan sengaja pura-pura tidak tahu, selalu saja konsep pendidikan politik dalam pengertian yang paling permukaan itu dieksploitasi sedemikian rupa sehingga selalu terjadi keterpenggalan sejarah pemahaman terhadap jalannya pendidikan dan kesadaran berpolitik.

Akibatnya, dari waktu ke waktu selalu muncul satu generasi yang "rawan pengetahuan" politik. Satu generasi yang siap berpartisipasi secara semu, bukan berdasarkan kepentingan yang sangat terkait dengan dirinya, bukan pula karena berdasarkan satu kesadaran yang konseptual terhadap arah, arus, dan realitas politik yang sesungguhnya, tetapi lebih sebagai satu generasi penggembira belaka.

Pada taraf inilah rekayasa politik berperan besar untuk menggiring para penggembira tersebut, pada suatu peristiwa politik, apapun itu namanya. Bukan hanya kebetulan Pemilu, tetapi demikian pula untuk peristiwa lain yang, anehnya, selalu saja dapat dikaitkan dengan kepentingan politik.

Lantas, apakah ada yang salah? Kalau saya meneruskan pertanyaan itu, dengan mencoba mencari-cari jawaban, itu artinya saya tidak mencoba untuk menghindari dari cara pengkambinghitaman. Dan itu jelas tidak memberi jalan ke luar dari kemelut persoalan. Yang perlu dilakukan bukan soal bagaimana mencari kambing hitam, lebih dari itu adalah niat baik untuk menyadari kesalahan dan upaya memperbaiki kesalahan sejarah (pendidikan) politik.

* * *
Bahwa masa depan ditentukan seberapa jauh kita memiliki kesungguhan, kejujuran, kecermatan, kehati-hatian, dalam merajut semua jaringan yang penting dan relevan di hari-hari ini. Apakah itu jaringan-jaringan politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan sebagainya, yang kesemuanya itu saling gayut, yang satu sama lain tidak dapat diabaikan atau dianakemaskan. Dengan berat hati, saya katakan hal itu kepadanya.

Terbayang di kepala saya, apa yang dilakukan oleh anak saya lima belas atau dua puluh tahun mendatang? Realitas politik seperti apa yang akan dihadapinya? Pengetahuan politik seperti apa yang dipahaminya? Kebodohan, irrasionalitas, kemajuan, dan kepiawaian seperti apa pula yang akan dialaminya? Lamunan saya buyar, karena sambil tergopoh-gopoh saya membetulkan acungan jarinya ketika saya ketahui yang tertekuk hanya jari jempol. Acungan jari yang keliru, sama halnya dengan mengundang kejahatan, mengundang bahaya, baik pada tingkat pribadi, lokal, dan nasional.

Memang, di hari-hari ini, hampir setiap sore, sambil momong, dengan setia saya berdiri di pinggir jalan. Dan seperti kita ketahui, "dunia luar" kampanye, bukan berarti tidak kalah gayeng dan ramai dibandingkan para massa perserta kampanye. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "dunia luar" kampanye justru lebih meriah dibandingkan kampanye. "Dunia luar" kampanyelah yang memiliki kans dan kesempatan untuk membahas persoalan kampanye hampir dua puluh empat jam penuh.

Artinya, masyarakat (awam), kalau boleh disebut demikian, seperti terkooptasi sedemikian rupa untuk ikut berpartisipasi dengan caranya sendiri-sendiri. Barangkali "kerawanan pengetahuan" politik lebih dapat dirasakan. Namun, itulah realitas politik Indonesia. Di dalam dirinya, tidak ada satu keharusanpun untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Masyarakat (awam) sungguh sangat bebas memberi arti, mencoba memaknai apapun peristiwa (politik) yang dilihatnya, yang dirasakannya, yang dihadapinya, atau yang disukai dan tidak disukainya.

Terbersit juga keraguan di hati saya, sebetulnya saya sedang berbicara dengan siapa. Apakah betul saya sedang mengajak "diskusi" anak saya. Jangan-jangan saya hanya bercakap-cakap dengan diri sendiri. Satu metode protes yang memang tidak canggih, ketika disadari cara lain tampaknya tidak mungkin. Yang tidak mustahil dirasakan pula oleh sebagian besar orang Indonesia. * * *


KAYAK ORANG KAMPUNG MIKIR NEGARA


Oleh Aprinus Salam

            Rapat DPR dalam menyikapi kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM per 1 April berjalan kampungan. Terlepas dari berbagai sebab mengapa rapat mulia dan terhormat (karena diikuti oleh orang-orang yang katanya mulia dan terhormat) itu berjalan tidak lucu dan tidak menyenangkan, yang pasti kita mendengar bersama beberapa orang DPR meneriakan kata “Kampungan”, “ Kayak orang kampung saja”, dan beberapa umpatan lain.
            Perlu dipermasalahkan mengapa ungkapan “kampungan” atau “kayak orang kampung saja” itu muncul dalam sebuah persidangan di pusat kota, justru ketika orang-orang terpandang yang seharusnya “terpelajar”, saling berteriak dan menuduh di antara mereka bahwa kerusuhan itu seperti kelakuan orang kampung atau kampungan. Apakah ungkapan tersebut dapat dilihat sebagai satu substansi persoalan, atau lebih karena faktor kebetulan yang bersifat emosional belaka.
            Pertama, perkataan bernada menghina tersebut menunjukan bahwa hanya orang kampung saja yang mungkin boleh dimaklumi jika menyelenggarakan forum resmi semacam rapat  dan bertindak tidak sopan, tidak terpelajar, tidak beradab. Orang-orang yang tidak kampung, katakanlah orang kota, tidak selayaknya berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu memalukan, tidak kota. Jadi, kota adalah pusat peradaban, pusat sopan santun.
Kita bisa mengujinya apakah pengakuan terhadap dikotomi tersebut masih bisa diterima. Paling tidak acuan referen konseptual yang mana yang bisa membuktikan bahwa orang kampung tidak lebih beradab dibanding orang kota. Atau, sedikit lebih akademis dari itu, ukuran etis dan standar apa yang dipakai dalam menetapkan peradaban sehingga kota disebut-sebut lebih beradab, lebih sopan, lebih etis daripada orang kampung. Apakah itu tidak semata-mata bahwa kota merupakan pusat kekuasaan yang menentukan segala aturan tata kehidupan. Seberapa jauh kota memberikan kontribusi terhadap kampung sehingga orang kampung perlu mengakui dikotomi tersebut.
Kedua, ungkapan seperti itu muncul dengan asumsi bahwa yang rusuh dan ricuh itu orang kampung. Orang kota kalau rusuh dan ricuh, itu namanya berprilaku kampung(an). Ungkapan seperti itu perlu mendapatkan klarifikasi,  karena kampung mana dan di mana yang dianggap sebagai referen ricuh dan rusuh. Atau seberapa tegas sih batasan antara sesuatu yang disebut kampung atau kota itu. Bagaimana kita menempatkan jika banyak kerusuhan antarkampung, tapi terjadi di kota besar seperti Jakarta.
Artinya, prilaku kampungan bukan mengacu pada lokasi, tetapi berubah menjadi penamaan/konsep tersendiri. Ini perlu dijelaskan karena jika bukan hal tersebut yang dimaksud, jelas perkataan “kayak orang kampung aja”, menghina orang-orang kampung. Apa hak orang kota menghina orang kampung, sebab orang kampung tidak pernah menghina orang kota.  Juga jangan sampai kericuhan dalam rapat Paripurna DPR itu terjadi dengan mengambinghitamkan “adanya orang kayak orang kampung”. Kalau tidak ada kayak orang kampung berarti tidak akan ada kerusuhan.
Ketiga, ungkapan itu muncul dari wacana atau idiom sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari memang ada ungkapan untuk menilai orang yang tidak sopan, tidak bermutu, seperti layaknya orang kampung. Ungkapan seperti itu bukan hanya muncul di perkotaan, tetapi juga di perkampungan itu sendiri, yakni ketika ada orang yang tinggal di kampung yang merasa dirinya lebih terpelajar, lebih kota, lebih bermutu, menilai warga kampung lain yang tidak bermutu. Di sini, istilah kampung hampir tidak berhubungan dengan arti kampung yang sesungguhnya. Arti kata itu lebih dimaksudkan sebagai perkataan penilaian tidak bermutu, tidak sopan, tidak beradab.
Jika itu yang terjadi, seharusnya tidak ada yang perlu digelisahkan. Banyak kata yang berubah-ubah arti atau maknanya tergantung konteks pemakaian kata tersebut diletakkan dalam wacana seperti apa. Akan tetapi, hal tersebut selayaknya justru menimbulkan kegelisahan yang lebih besar. Munculnya tuduhan kayak orang kampung itu mengindikasikan adanya pengakuan bahwa kericukan di DPR itu merupakan pengakuan internal bahwa banyak anggota DPR Indonesia yang tidak bermutu dan tidak tidak beradab. Kita bisa membayangkan ke mana negeri ini akan berjalan jika para elite-nya saja merupakan sekumpulan orang yang tidak bermutu, tidak sopan, dan tidak beradab.
* * *
Berdasarkan cerita di atas, kemungkinan perspektif lain adalah sebagai berikut. Hal penting yang perlu dipahami adalah munculnya istilah kayak. Kayak dalam kayak orang kampung itu mengandaikan bahwa sebetulnya yang rusuh itu bukan orang kampung sungguhan (ah yang benar?), tapi hanya prilakunya, tindakan dan cara berpikirnya saja yang kampungan. Dengan demikian, konotasi kampungan di sini lebih substantif daripada yang sesungguhnya terjadi.
Sangat mungkin dalam hal kericuhan dilihat lebih sebagai cara atau strategi, “dengan cara yang kampungan, berteriak dan kalau perlu berkelahi”, agar terlihat serius atau bersungguhnya-sungguh. Jadi, memang banyak interpretasi terhadap situasi tersebut. Ada yang mengatakan, bisa kita bayangkan bagaimana mereka bisa dipilih mengurus dan mengontrol jalannya kehidupan bernegara, jika mereka mengurus dirinya sendiri tidak bisa. Itu artinya banyak rakyat yang memilih mereka telah tertipu. Dulu terlihat manis dan bijak, tetapi setelah jadi anggota legislatif, terlihat belang aslinya.
Akan tetapi, ada pula yang mengatakan bahwa biarkan saja mereka ricuh, kalau perlu berkelahi sungguhan, pukul-pukulan hingga berdarah. Bukan saja agar mereka terlihat bersungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat, karena di luar pekerjaan/rapat seperti itu mereka hidup enak-enakan, banyak uang, dan terhormat. Anggap saja kericuhan yang sedikit memalukan itu cara mereka untuk membayar keseharian lainnya yang menyenangkan, dengan sejumlah fasilitas yang menggiurkan.
Yang penting dari munculnya berbagai interpretasi tersebut adalah adanya rasa ketidakpercayaan kepada anggota DPR kita. Barangkali ini masih bagian dari trauma panjang sejarah perpolitikan kita ketika para elite sama sekali tidak dapat dipercaya, ketika para elite lebih menjilat kepada penguasa daripada berpihak kepada rakyat. Trauma panjang itu saat ini menjadi paradigma atau bahkan “ideologi” rakyat dalam melihat kinerja para elite, khususnya kinerja legislatif, ekskutif, ataupun yudikatif.
* * *
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau ada teman atau saudara terlihat merenung, berpikir, kita akan mengatakan” Ah kamu, kayak mikir negara saja”. Dari peristiwa itu ada beberapa kemungkinan. Negara tidak usah dipikirkan, karena sudah ada yang memikirkan. Kenyataannya, repot juga kalau para pemikir negara kita kayak orang kampung seperti peristiwa 15-16 Maret yang lalu. Yang pasti, kualitas negara kita adalah seperti yang kita alami bersama seperti sekarang ini, menyedihkan.
Kemungkinan kedua, negara itu tidak perlu dipikirkan serius-serius amat. Anggaplah kita bisa dan boleh berpikir serius, apa sih yang bisa kita sumbangkan kepada negara yang terlanjur kacau balau ini. “Mbok dipikirkan setengah mati to, negara kita tidak akan maju-maju, tidak akan berubah, ya seperti begini-begini saja.” Jadi, tidak perlu memikirkan negara secara serius, santai sajalah.
Ada hal yang lebih mencemaskan daripada kenyataan di atas. Bahwa ditinjau dari banyak segi, bahwa berharap Indonesia bisa menjadi lebih baik hampir tidak ada. Anggota elite legislatif kayak orang kampung sehingga tidak mungkin bisa diharapkan. Orang kampung sungguhan jika mau mikirkan negara, juga percuma. Mikir serius, mikir santai, nasibnya tidak berubah.
Lantas, siapa saat ini yang kalau mikir dan ngurus negara (atau secara inheren termasuk rakyat di dalamnya), Indonesia akan menjadi lebih baik.  Para sarjana dari UI, UGM, ITB, atau IPB, atau lembaga-lembaga yang katanya independen? Jangan-jangan mereka malah berkolaborasi (atau berkonspirasi) dengan para kayak orang kampung, sehingga yang pasti harga BBM telah naik, sembako juga naik, yang lain-lain pasti naik. Hasilnya, rakyat semakin menderita. Begitulah.* * *

POLITIK MAKRO, POLITIK MIKRO


Oleh Aprinus Salam
Seorang aktivis mahasiswa dengan gagah dan bangga bercerita kepada teman-temannya bahwa ia baru saja selesai ikut demonstrasi. Demonstrasi itu ditujukan kepada pemerintahan Susiolo Bambang Yudhoyono yang dinilai lamban, sejauh ini hanya menjual janji, juga kritik terhadap kenaikan beberapa harga BBM, dan sebagainya.
Seorang temannya punya rencana lain. Teman itu merasa akan mendapat dukungan dari seorang mahasiswa yang tegar terhadap rencananya akan melakukan demontrasi di fakultasnya. Demonstrsi itu mengeritik kebijakan fakultas yang dianggapnya tidak adil, memberlakukan mahasiswa secara rasis, dan sebagainya.
Sayang, aktivis mahasiswa itu dengan tidak bersemangat mengatakan bahwa ia tidak bisa mendukung demonstrasi di fakultas. Alasan mahasiswa aktivis itu adalah bahwa ia sungkan, yang dikritik itu "terlalu kecil" baginya, dan sejumlah alasan lain. Karena, selama ini ia terbiasa mengeritik dan demontrasi hal-hal yang besar, yang melibatkan nasib rakyat Indonesia.
Dan seperti diketahui, bahwa pada akhirnya demonstrasi di fakultas itu tidak terlaksana. Sebetulnya, ada juga beberapa mahasiswa memberikan dukungan, tetapi hanya secara lisan dan moral. Beberapa memberikan alasan bahwa jam rencana demonstrasi itu berbenturan dengan jam kuliah, hari itu kebetulan ada acara lain, dan yang paling banyak adalah merasa tidak enak, sungkan.
                                                                    * * *                   
Apa arti dari cerita tersebut? Sebetulnya cuma sederhana, bahwa saat ini ada kecenderungan bahwa banyak orang secara terbuka, kritis, dan berani melakukan kritik kepada pemerintahan Indonesia (politik makro), dan mengalami kegagapan melakukan keritik justru terhadap hal-hal yang secara langsung dihadapi sehari-hari (politik mikro).
Memang, batas-batas politik makro dan mikro ini cukup relatif. Karena bisa jadi masalah kenaikan BBM atau sembako, secara langsung berhubngan dengan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, yang dimaksud dengan palitik makro adalah yang berhubungan dengan politik dan kebijakan nasional. Sementara itu, politik mikro jauh lebih kecil, misalnya politik dalam ruang lingkup fakultas atau universitas, ruang lingkup Rukun Tetangga atau kakalanlah kelurahan, ruang lingkup perusahaan, dan yang setingkat dengan itu.
Betas-batas itu pun pada setiap konteksnya bisa berbeda-beda. Akan tetapi, yang paling menentukan adalah apakah politik tersebut lebih memiliki akses kemampuan yang lebih tinggi dalam menyentuh prilaku politik seseorang (politik yang menyetuh tubuh). Artinya, dalam cerita di atas, seseorang mengalami ketakutan ketika diketahui bahwa aktivitas demonstrasinya secara langsung akan berdampak terhadap dirinya. Apakah itu dalam pengertian fisik, tetapi lebih-lebih dalam pengertian "nasib" seseorang tersebut.
Kita tahu dan maklum bahwa di balik ketakutan mahasiwa demonstrasi di fakultasnya, tersembunyi ketakutan bahwa jika nanti diketahui identitasnya, ia akan memndapat pembalasan, berupa nilai buruk, atau katakanlah sangsi lainnya. Artinya, demonstrasi belum dianggap sebagai mekanisme menyampaikan aspirasi secara terbuka.
Masih terdapat kesadaran lain bahwa menjadi pahlawan pada tataran politik mikro belum tentu "merubah" nasib seseorang untuk mendapat akses politik makro. Ia hanya tetap menjadi pahlawan-pahlawan kecil. Kalau toh perjuangan politik mikro berhasil, dampaknya tidak segera dirasakan pada tataran yang lebih besar.
Berbeda jika seseorang demonstrasi anti kenaikan BBM atau sembako, atau mengeritikan kebijakan pemerintah SBY lainnya. Saat ini, pemerintah pusat, katakanlah representasi negara, mengalami "kesulitan teknis, untuk secara langsung menjahati para kritikus dan demonstran.
Di samping itu, berhadapan dengan aparat belum tentu seperti berhadapan dengan negara (politik makro). Sangat mungkin beberapa kejadian ketika aparat memukul demonstran, kejadian terebut lebih kejadian politik mikro di lapangan, kejadian yang bersifat personal. Tetapi, hampir dapat dipastikan bahwa saat ini mengeritik dalam pengertian politik makro, walaupun tetap ada kemungkinan mendapatkan sangsi, tetapi tidak lagi menakutkan.
Ada sisi yang lebih menjanjikan, bahwa menjadi pahlawan dalam politik makro bisa berimplikasi pada seseorang, apakah dalam bentuk publikasi, atau sangat mungkin ketika kepentingan politik makro lainnya berkepentingan, dan saat ini berarti itu adalah akses ekonomi. Kita tahu, banyak para demonstran politik makro pada tahun 1980-an, saat ini merupakan bagian dari politik makro, dan itu artinya juga akses ekonomi yang lebih besar.
* * *
Hal lain yang ingin dikatakan adalah bahwa fenomena apresiasi terhadap politk makro dan politik mikro ini jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ambillah contoh ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Dulu politik makro memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol politik mikro. Artinya, politik makro memiliki akses langsung terhadap politik, dan sebagai implikasinya politik makro secara langsung memiliki kemampuan menyentuh diri (tubuh) seseorang. Politik mikro pun dengan sewenang-wenang memiliki kemampuan langsung menyentuh diri (tubuh) seorang bahkan atas nama politik makro.
Sebagai konesekuensinya, dulu banyak orang mengalami ketakutan ketika harus berhadapan dengan politik makro (negara). Memang, tetap saja banyak demonstran. Namun, kondisinya sudah jauh berbeda. Waktu itu, jika tidak demonstrasi dan atau bersikap kritis, baik dalam skala makro atau makro, nasibnya sama saja, sama-sama buruk.
Dengan demikian, aktivis demonstran dan kritikus waktu itu berhadapan dengan politik makro dan mikro sekaligus. Batas-batasnya tidak jelas ketika politik mikro selalu dalam kontrol politik makro. Atau paling tidak politik mikro bisa mengatasnamakan politik makro. Dulu untuk melamar pekerjaan di instansi apapun selalu dipersoalkan untuk memiliki loyalitas dengan politik makro.
* * *
Akan tetapi, yang lebih penting yang ingin dikatakan adalah bahwa harus ada aturan permainan dan sekaligus perlindungan yang cukup jelas ketika seseorang berhadapan dengan politik makro ataupun mikro. Memang, saat ini politik makro tidak sepenuhnya mampu mengontrol politik mikro. Akan tetapi, sangat mungkin sejarah berulang ketika politik mikro kembali mengatasnamakan politik makro, atau justru ketika politik mikro memiliki wewenang yang cukup besar dalam "menentukan" nasib seseorang.
Aturan yang perlu disepakati adalah, pertama, bahwa harus ada pengakuan bahwa demontrasi dan bentuk-bentuk prilaku kritis lainnya adalah sebuah mekanisme untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka. Memang, secara musyawarah pun bisa dilakukan. Masalah, dalam musyawarah sering bentuk komunikasi menjadi tidak seimbang, ada yang lebih berkuasa antara yang satu berhadapan dengan yang lain.
Kedua, yang melakukan demonstrasi pun perlu mengontrol dirinya untuk tidak bertindak berlebihan, tindakan yang sangat mungkin menjadi sangat tidak produktif, misalnya jika ada tindakan yang mengarah pada sikap-sikap mau menang sendiri, sikap-sikap yang mengarah pada bentuk-bentuk kekerasan.
Ketiga, pihak pemegang kekuasaan politik mikro juga perlu memahami bahwa kekuasaan itu bersifat sementara. Jangan sampai ketika ia tidak berkuasa lagi, ia juga kelak akan mendapat pembalasan, sesuatu yang beimplikasi pada dirinya. Entah bagaimana caranya. Kita tidak tahu. * * *